Mini
Research
Laporan
Penelitian Mini

KEPRIBADIAN
RABBANY
(Studi
Tematik tentang Konsep Tauhid dalam
Pembentukan Kepribadian Muslim)
Disusun
Sebagai Salah Satu Tugas Yang Diwajibkan Dalam Mengikuti Perkuliahan Filsafat
Pendidikan Islam
Oleh,
DTM
AYUB AZHARI 3003183056
MUCHLIS
3003183059
MUHAMMAD
AZRAI PRAYOGI 3003183074
I
(GANJIL)
Jurusan
Pendidikan Islam (PEDI A)
PROGRAM
PASCASARJANA PENDIDIKAN ISLAM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA MEDAN
TAHUN
2018-2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia
merupakan makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna dan mulia, karena manusia
diciptakan dengan mempunyai fisik yang bagus serta akal pikiran dan akhlak yang
mulia. Dimana dengan akal yang dimiliki manusia dapat menerima, mengembangkan
serta mengamalkan ilmu yang telah di milikinya.
Pendidikan
salah satu sarana dalam mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya sebagaimana
tujuan pendidikan yang tercantum dalam UndangUndang Sistem Pendidikan Nasional
No.20 Tahun 2003.
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bagsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[1]
Setiap
proses yang dilakukan dalam pendidikan harus dilakukan secara sadar dan
memiliki tujuan. Adapun tujuan pendidikan secara umum adalah mewujudkan
perubahan positif yang diharapkan ada pada peserta didik setelah menjalani
proses pendidikan, baik perubahan pada tingkah laku individu dan kehidupan
pribadinya maupun pada kehidupan masyarakat serta alam sekitarnya dimana subjek
didik menjalani kehidupan.
Pendidikan
merupakan unsur yang harus terpenuhi dalam hidup setiap orang, guna mencapai
keberlangsungan yang optimal, baik dunia maupun akherat. Oleh karena itu,
pendidikan akan berjalan optimal apabila diimbangi dengan pendidikan agama.
Dalam pandangan Islam, pendidikan berfungsi sebagai pembentukan individu
berdasarkan ajaran-ajaran Islam.
Pendidikan
agama mempunyai peranan yang sangat penting dan strategis dalam membentuk
kepribadian anak. Sebagaimana tujuan pendidikan sendiri adalah pembentukan
kepribadian muslim.[2]
Orang
islam belum tentu berkepribadian muslim. Kepribadian muslim adalah seperti
digambarkan oleh Al-qur’an tentang tujuan dikirimkan Rasulullah Muhammad saw
kepada umatnya, yait menjadi rahmat bagi sekalian alam.
Maka,
seseorang yang telah mengaku muslim seharusnya memiliki kepribadian sebagai
sosok yang selalu dapat member rahmat dan kebahagiaan kepada siapa dan apapun
di lingkunagnnya. Taat dalam mejalankan ajaran agama, tawadhu, suka membantu,
memiliki sifat kasih sayang tidak suka menipu, tidak suka mengambi hak orang
lain, tidak suka mengganggu dan tidak suka menyakiti orang lain.
Persepsi
(gambaran) masyarakat tentang pribadi muslim memang berbeda-beda. Bahkan banyak
yang pemahamannya sempit sehingga seolah-olah pribadi muslim itu tercermin pada
orang yang hanya rajin menjalankan Islam dari aspek ubudiyah. Padahal itu
hanyalah satu aspek saja dan masih banyak aspek lain yang harus melekat pada pribadi
seorang muslim. Oleh karena itu standar pribadi muslim yang berdasarkan Al
Qur’an dan Sunnah merupakan sesuatu yang harus dirumuskan, sehingga dapat
menjadi acuan bagi pembentukan pribadi muslim.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dapat
diidentifikasikan masalah yang terdapat dalam motivasi berprestasi adalah
sebagai berikut:
1. Sebagian
manusia tidak mepunyai Akidah yang lurus
(menurut persepsi al-Quran dan as-Sunnah.
2. Melakukan
ibadah yang benar (menurut al-Quran dan as-Sunnah)
3. Muammalah
(hubungan antara sesama manusia) yang benar (menurut al-Quran dan as-Sunnah)
C. Pembatas Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah
yang telah diuraikan, terdapat berbagai hal yang perlu mendapatkan perhatian
dan menarik untuk di teliti. Namun karena adanya keterbatasan kemampuan, tenaga
dan dana dari peneliti, maka dalam peneliti ini diperlukan adanya pembatas
masalah. Hal tersebut bertujuan agar peneliti dapat lebih fokus dan terarah,
serta dapat mencapai sasaran yang diharapkan. Oleh karen itu penelitian ini
dibatasi kepribadian Robbany Studi Tematik tentang Konsep Tauhid dalam Pembentukan Kepribadian Muslim.
D.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan pada latar belakang, identifikasi
masalah, dan pembatas masalah maka dirumuskan masalah yang diajukan dalam
penelitian ini adalah:
1. Bagaimana
Konsep Kepribadian Muslim dalam Tauhid ?
2. Bagaimana
Konsep Tauhid dalam Pembentukan
Kepribadian Muslim ?
BAB
II
LANDASAN
TEORI
A. Kepribadian Robbany
1.
Pengertian Pembentukan Kepribadian
Muslim
Istilah
“Pembentukan” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah suatu proses, cara atau
perbuatan membentuk sesuatu. Membentuk berarti menjadikan atau membuat sesuatu
dengan bentuk tertentu, berarti pula membimbing, mengarahkan, dan mendidik
watak, pikiran,kepribadian dan sebagainnya.[3]
Kepribadian
berasal dari kata “pribadi” yang berarti diri sendiri, atau perseorangan.
Sedangkan dalam bahasa inggris digunakan istilah personality, yang berarti
kumpulan kualitas jasmani, rohani, dan susila yang membedakan seseorang dengan
orang lain.
Menurut
Allport, kepribadian adalah organisasi sistem jiwa raga yang dinamis dalam diri
individu yang menentukan penyesuaian dirinya yang unik terhadap lingkungannya.[4]
Carl
Gustav Jung mengatakan, bahwa kepribadian merupakan wujud pernyataan kejiwaan
yang ditampilkan seseorang dalam kehidupannya.[5]
Pada
dasarnya kepribadian bukan terjadi secara serta merta akan tetapi terbentuk
melalui proses kehidupan yang panjang. Oleh karena itu banyak faktor yang ikut
ambil bagian dalam membentuk kepribadian manusia tersebut.. dengan demikian
apakah kepribadian seseorang itu baik, buruk, kuat, lemah, beradap atau biadap
sepenuhnya ditentukan oleh faktor yang mempenggaruhi dalam pengalaman hidup
seseorang tersebut. Dalam hal ini pendidikan sangat besar penanamannya untuk
membentuk kepribadian manusia itu.[6]
Sedangkan
kepribadian muslim adalah serangkaian perilaku seseorang dalam kesehariannya
sesuai dengan ajaran-ajaran Islam atau internalisasi nilai-nilai ajaran Islam
dalam diri orang tersebut.[7]
Kepribadian
secara utuh hanya mungkin dibentuk melalui pengaruh lingkungan, khususnya
pendidikan. Adapun sasaran yang dituju dalam pembentukan kepribadian ini adalah
kepribadian yang dimiliki akhlak yang mulia. Tingkat kemuliaan akhlak erat
kaitannya dengan tingkat keimanan. Sebab Nabi mengemukakan “ Orang mukmin yang
paling sempurna imannya adalah orang mukmin yang paling baik akhlaknya.
Seseorang
yang islam disebut muslim. Muslim adalah orang atau seseorang yang menyerahkan
dirinya secara sungguh – sungguh kepada Allah. Jadi, dapat dijelaskan bahwa
“wujud pribadi muslim” itu adalah manusia yang mengabdikan dirinya kepada
Allah, tunduk dan patuh serta ikhlas dalam amal perbuatannya, karena iman
kepada-Nya. Pola sesorang yang beriman kepada Tuhan, selain berbuat kebajikan
yang diperintahkan adalah membentuk keselarasan dan keterpaduan antara
faktor iman, islam dan ikhsan.
Orang yang
dapat dengan benar melaksanakan aktivitas hidupnya seperti mendirikan shalat,
menunaikan zakat, orang – orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan
orang – orang yang sabar dalam kesempitan penderitaan dan peperangan maka
mereka disebut sebagai muslim yang takwa, dan dinyatakan sebagai orang yang
benar. Hal ini merupakan pola takwa sebagai gambaran dari kepribadian yang hendak
diwujudkan pada manusia islam. Apakah pola ini dapat “mewujud” atau
“mempribadi” dalam diri seseorang, sehingga Nampak perbedaannya dengan orang
lain, karena takwanya, maka; orang itu adalah orang yang dikatakan sebagain
seseorang yang mempunyai “Kepribadian Muslim”.
Secara
terminologi kepribadian Islam memiliki arti serangkaian perilaku normatif
manusia, baik sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial yang normanya
diturunkan dari ajaran islam dan bersumber dari Al-Quran dan al-Sunnah.[8]
Kepribadian
muslim dalam kontek ini barang kali dapat diartikan sebagai identitas yang
dimiliki seseorang sebagai ciri khas bagi keseluruhan tingkah laku
sebagai muslim, baik yang disampaikan dalam tingkah laku secara lahiriyah
maupun sikap batinnya. Tingkah laku lahiriyah seperti cara berkata-kata,
berjalan, makan, minum, berhadapan dengan orang tua, guru, teman sejawat, sanak
famili dan sebagainya. Sedangkan sikap batin seperti penyabar, ikhlas, tidak
sengaja, dan sikap terpuji yang timbul dari dorongan batin.
Kemudian
ciri khas dari tingkah laku tersebut dapat dipertahankan sebagai kebiasaan yang
tidak dapat dipengaruhi sikap dan tingkah laku orang lain yang bertentangan
dengan sikap yang dimiliki. Ciri khas tersebut hanya mungkin dapat
dipertahankan jika sudah terbentuk sebagai kebiasaan dalam waktu yang lama.
Selain itu sebagai individu setiap muslim memiliki latar belakang
pembawaan yang berbeda-beda. Perbedaan individu ini diharapkan tidak akan
mempengeruhi perbedaan yang akan menjadi kendala dalam pembentukan kebiasaan
ciri khas secara umum.[9]
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa pembentukan kepribadian muslim adalah suatu
proses atau cara yang dilakukan dalam rangka membentuk, membimbing dan
mengarahkan manusia agar mempunyai sikap dan perilaku yang baik yang sesuai
dengan ajaran Islam atau internalisasi nilai-nilai ajaran Islam (dilandasi
keimanan, dihiasi akhlak yang mulia dan mampu merealisasikan keimanan tersebut
dalam bentuk amal sholeh).
2.
Aspek-aspek Pembentuk Kepribadian
Muslim
Konsep pembentuk kepribadian dalam
pendidikan islam menurut Syaikh Hasan al-Banna ada 10 aspek:
a. Bersihnya akidah,
b. Lurusnya ibadah,
c. Kukuhnya akhlak,
d. Mampu mencari
penghidupan,
e. Luasnya wawasan
berfikir,
f. Kuat fisiknya,
g. Teratur urusannya,
h. Perjuangan diri
sendiri,
i. Memperhatikan waktunya, dan
j. Bermanfaat bagi orang lain.[10]
Disini
terlihat ada dua sisi penting dalam pembentukan kepribadian muslim, yaitu iman
dan akhlak. Bila iman dianggap sebagai konsep batin, maka batin adalah
implikasi dari konsep itu yang tampilanya tercermin dalam sikap perilaku
sehari-hari. Keimanan merupakan sisi abstrak dari kepatuhan kepada hukum-hukum
Tuhan yang ditampilkan dalam lakon akhlak mulia.
Untuk itu membentuk kepribadian
dalam pendidikan islam harus direalisasikan sesuai Al-Qur’an dan al-Sunnah nabi
sebagai identitas kemuslimannya, dan mampu mengejar ketinggalan dalam bidang
pembangunan sekaligus mampu mengentas kebodohan dan kemiskinan. Konsep
kepribadian dalam pendidikan islam identik dengan ajaran islam itu sendiri,
keduanya tidak dapat dipisahkan karena saling berkaitan.
3. Faktor-faktor
Pembentuk Kepribadian
a. Faktor Internal
Instink Biologis, seperti· lapar, dorongan makan yang
berlebihan dan berlangsung lama akan menimbulkan sifat rakus. Maka sifat itu
akan menjadi perilaku tetap.
Kebutuhan Psikologis,· seperti rasa aman, penghargaan,
penerimaan, dan aktualisasi diri.
Kebutuhan Pemikiran,· yaitu akumulasi informasi yang
membentuk cara berfikir seseorang, seperti mitos, agama, dan sebagainya.
b. Faktor Ekstrnal
·
Lingkungan Keluarga,
·
Lingkungan Sosial, dan
·
Lingkungan Pendidikan.
4.
Langkah-langkah Pembentuk
Kepribadian Muslim
Dalam membentuk kepribadian dalam
pendidikan islam islam diperlukan beberapa langkah yang berperan dalam
perubahannya, antara lain:
a. Peran Keluarga
Keluarga mempunyai peran yang sangat
besar dalam membentuk kepribadian dalam pendidikan islam. Orang tua menjadi
penanggung jawab bagi masa depan anak-anaknya, maka setiap orang tua harus
menjalankan fungsi edukasi. Mengenalkan islam sebagai ideologi agar mereka
mampu membentuk pola pikir dan pola sikap islami yang sesuai dengan akidah dan
syari’at islam.
b. Peran Negara
Negara harus mampu membangun
pendidikan yang mampu untuk membentuk pribadi yang memiliki karakter islami
dengan cara menyusun kurikulum yang sama bagi seluruh sekolah dengan
berlandaskan akidah islam, melakukan seleksi yang ketat terhadap calon-calon
pendidik, pemikiran diajarkan untuk diamalkan, dan tidak meninggalkan
pengajaran sains, teknologi maupun seni. Semua diajarkan tetap memperhatikan
kaidah syara’.
c. Peran
Masyarakat
Masyarakat juga ikut serta dalam
pembentuk kepribadian dalam pendidikan islam karena dalam masyarakat kita bisa
mengikuti organisasi yang berhubungan dengan kemaslahatan lingkungan. Dari sini
tanpa kita sadari pembentukan kepribadian dapat terealisasi.Dalam masyarakat
yang mayoritas masyarakatnya berpendidikan, maka baiklah untuk menciptakan
kepribadian berakhlakul karimah.
Ketiga
peraran diatas sangat berperan aktif dalam pembentukan kepribadian dalam
pendidikan islam karena semua saling mempengaruhi untuk pembentukannya.
Untuk
merealisasikan kepribadian dalam pendidikan islam yang ada maka diperlukan tiga
proses dasar pembentukan:
1. Pembentukan
Pembiasaan
Pembentukan ini ditujukan pada aspek
kejasmanian dari kepribadian yang memberi kecakapan berbuat dan mengucapkan
sesuatu, seperti puasa, sholat, dan lain-lain.
2. Pembentukan
Pengertian
Pembentukan yang meliputi sikap dan
minat untuk memberi pengertian tentang aktifitas yang akan dilaksanakan, agar
seseorang terdorong ke arah perbuatan yang positif.
3. Pembentukan
Kerohanian yang Luhur
Pembentukan ini tergerak untuk
terbentuknya sifat takwa yang mengandung nilai-nilai luhur, seperti jujur,
toleransi, ikhlas, dan menepati janji.
Proses pembentukan
kepribadian dalam pendidikan islam berlangsung secara bertahap dan
berkesinambungan. Dengan demikian pembentukan kepribadian merupakan rangkaian
kegiatan yang saling berhubungan dan saling tergantung sesamanya.
5.
Tujuan Pembentukan Kepribadian
Menjadi diri sendiri harus dimulai
dari nalar berpikir kearah mana tujuan hidup individu selama dia hidup. Adapun
tujuan yang diinginkan dalam membentuk kepribadian yaitu:
a. Membentuk sikap disiplin terhadap waktu,
b. Mampu mengendalikan
hawa nafsu,
c. Memelihara diri dari
perilaku menyimpang,
d. Mengarahkan hidup
menuju kepada kebaikan dan tingkah laku yang benar,
e. Mempelajari
perubahan-perubahan dalam gaya hidup,
f. Meningkatkan
pengertian diri, nilai-nilai diri, kebutuhan diri, agar dapat membantu
orang lain melakukan hal yang sama, dan
g. Mengembangkan perasaan
harga diri dan percaya diri melalui aspek dukungan dan tanggung jawab
yang bersifat timbal balik.
Dalam islam, pendidikan mengacu pada
tujuan hidup manusia itu sendiri. Dalam hakikat tujuan hidup manusia adalah
mengabdikan dirinya pada Tuhan, dengan penyerahan mutlak. Dengan kata lain
sorang muslim selalu mengaitkan segala aktifitas kegiatannya dengan melihat dan
menyesuaikannya di atas ketentuan norma – norma yang ditetapkan Allah.
Pendidikan islam adalah sistem
pendidikan yang dapat memberikan kemampuan seseorang untuk memimpin
kehidupannya, sesuai dengan cita-cita islam karena nilai-nilai islam telah
menjiwai kepribadian seseorang dan mempedomani kehidupan manusia muslim dalam
aspek duniawi dan ukhrawi.[11]
Muhammad Omar al-Toumy al-Syaibani
mengatakan, bahwa tujuan pendidikan islam adalah untuk mempertinggi nilai-nilai
akhlak hingga mencapai nilai akhlak al-karimah.
Adapun beberapa tujuan dalam
pendidikan islam antara lain:[12]
a. Membimbing
manusia agar dapat menempatkan diri dan berperan sebagai individu yang taat
dalam menjalankan ajaran agama allah,
b. Pembentuk
sikap takwa,
c. Menumbuhkan
pola kepribadian manusia yang sempurna,
d. Menegakkan
kebenaran dalam rangka membentuk manusia yang berbudi luhur menurut ajaran
islam,
e. Penguasaan
ilmu terhadap agama islam,
f. Mencapai
keseimbangan pertumbuhan pribadi manusia secara menyeluruh melalui latihan-latihan
kejiwaan, akal pemikiran, kecerdasan, dan pancaindra,
g. Pembentuk
kepribadian yang akhlakul karimah,
h. Menopang
keselamatan dan kesejahteraan hidup didunia sesuai dengan perintah syari’at
islam, dan
i. Memiliki
keterampilan yang serasi dengan bakat yang dimiliki.
B. MACAM-MACAM
KEPRIBADIAN MUSLIM
1.
Kepribadian
Kemanusiaan (Basyariah)
a. Kepribadian individu; yang meliputi
ciri khas seseorang dalam bentuk sikap dan tingkah laku serta intelektual yang
dimiliki masing-masing secara khas sehingga ia berbeda dengan orang lain.
Menurut pandangan Islam memang manusia mempunyai dan memiliki potensi yang
berbeda (Al-farq al-fardiah) yang meliputi aspek fisik dan psikis.
Firman Allah Swt:
öÝàR$#y#øx.$oYù=ÒsùöNåk|Õ÷èt/4n?tã<Ù÷èt/4äotÅzEzs9urçt9ø.r&;M»y_uyçy9ø.r&urWxÅÒøÿs?ÇËÊÈ
Artinya: “perhatikanlah bagaimana
Kami lebihkan sebagian dari mereka atas sebagian (yang lain). dan pasti
kehidupan akhirat lebih Tinggi tingkatnya dan lebih besar keutamaannya”.
(QS.al-Israa’: 21)
b. Kepribadian ummah: yang meliputi
ciri khas kepribadian muslim sebagai suatu ummah (bangsa/negara) muslim yang
meliputi sikap dan tingkah laku ummah muslim yang berbeda dengan ummah lainnya,
mempunyai ciri khas kelompok dan memiliki kemampuan untuk mempertahankan
identitas tersebut dari pengaruh luar, baik ideology maupun lainnya yang dapat
memberi dampak negative.
Firman Allah Swt:
$pkr'¯»tâ¨$¨Z9$#$¯RÎ)/ä3»oYø)n=yz`ÏiB9x.s4Ós\Ré&uröNä3»oYù=yèy_ur$\/qãèä©@ͬ!$t7s%ur(#þqèùu$yètGÏ94¨bÎ)ö/ä3tBtò2r&yYÏã«!$#öNä39s)ø?r&4¨bÎ)©!$#îLìÎ=tã×Î7yzÇÊÌÈ
Artinya :
“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku
supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”.(QS. al-Hujarat: 13)
2. Kepribadian Samaai (Kewahyuan)
Kepribadian samaai (Kewahyuan) yaitu
corak kepribadian yang dibentuk melalui petunjuk wahyu dalam kitab suci
Al-Qur’an, yang antara lain difirmankan Allah sebagai berikut :
¨br&ur#x»ydÏÛºuÅÀ$VJÉ)tGó¡ãBçnqãèÎ7¨?$$sù(wur(#qãèÎ7Fs?@ç6¡9$#s-§xÿtGsùöNä3Î/`tã¾Ï&Î#Î7y4öNä3Ï9ºsNä38¢¹ur¾ÏmÎ/öNà6¯=yès9tbqà)Gs?ÇÊÎÌÈ
Artinya : “dan bahwa (yang Kami
perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, Maka ikutilah Dia, dan janganlah
kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain)[152], karena jalan-jalan itu mencerai
beraikan kamu dari jalanNya. yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu
bertakwa”.(QS. al-An’am: 153)
[152] Shalat
wusthaa ialah shalat yang di tengah-tengah dan yang paling utama. ada yang
berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan shalat wusthaa ialah shalat Ashar.
menurut kebanyakan ahli hadits, ayat ini menekankan agar semua shalat itu
dikerjakan dengan sebaik-baiknya.
Kepribadian muslim sebagai individu
dan sebagai ummah, terintergrasi dalam bentuk suatu pola yang sama. Dalam hal
ini dasar teori kepribadian muslim, baik sebagai individu maupun sebagai
suatu ummah yang satu, terjadi suatu bentuk dikotomi yang terintegrasikan.
Dikotomi terletak hanya dalam pembagian saja, namun dalam dasar yang sama
(Filsafat pendidikan Islam yang bersumberkan Al-Qur’an dan Hadits), serta
tujuan yang satu yaitu menjadi pengabdi Allah Swt yang taat sesuai dengan
firmannya.
$tBuràMø)n=yz£`Ågø:$#}§RM}$#urwÎ)Èbrßç7÷èuÏ9ÇÎÏÈ
Artinya : “dan aku tidak menciptakan
jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”. (QS. Adz
dzariyaat:56)
Pengintegrasian kepribadian
perseorangan dan ummah belum dapat menjamin terwujudnya perilaku mulia sesuai
dengan tuntutan hidup dunia ukhrawi. Oleh karena itu diperlukan kepribadian
samawi atau Islami dimana nilai-nilai Ketuhanan yang positif dan konstruktif
yang berorientasi kepada kesejahteraan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Di sinilah nampaknya perbedaan pandangan antara teori kepribadian Barat dengan
teori kepribadian nuslim. Mungkin hal ini disebabkan oleh falsafah yang
dianut masing-masing berbeda, sehingga perbedaan dasar menyebabkan
terjadinya perbedaan pandangan. (Wallahu A’lam).
Ada beberapa karakteristik yang
harus dipenuhi seseorang sehingga ia dapat disebut berkepribadian muslim, yaitu
:
a. Salimul ‘Aqidah/ ‘Aqidatus Salima (Aqidah yang lurus/selamat)
Salimul aqidah merupakan sesuatu yang harus ada pada setiap muslim. Dengan aqidah yang lurus, seorang muslim akan memiliki ikatan yang kuat kepada ALLAH SWT, dan tidak akan menyimpang dari jalan serta ketentuan-ketentuan-Nya. Dengan kelurusan dan kemantapan aqidah, seorang muslim akan menyerahkan segala perbuatannya kepada ALLAH sebagaimana firman-Nya yang artinya :“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku, semua bagi Allah tuhan semesta alam”. (QS. al-An’aam [6]:162). Karena aqidah yang lurus/selamat merupakan dasar ajaran tauhid, maka dalam awal da’wahnya kepada para sahabat di Mekkah, Rasulullah SAW mengutamakan pembinaan aqidah, iman, dan tauhid.
Salimul aqidah merupakan sesuatu yang harus ada pada setiap muslim. Dengan aqidah yang lurus, seorang muslim akan memiliki ikatan yang kuat kepada ALLAH SWT, dan tidak akan menyimpang dari jalan serta ketentuan-ketentuan-Nya. Dengan kelurusan dan kemantapan aqidah, seorang muslim akan menyerahkan segala perbuatannya kepada ALLAH sebagaimana firman-Nya yang artinya :“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku, semua bagi Allah tuhan semesta alam”. (QS. al-An’aam [6]:162). Karena aqidah yang lurus/selamat merupakan dasar ajaran tauhid, maka dalam awal da’wahnya kepada para sahabat di Mekkah, Rasulullah SAW mengutamakan pembinaan aqidah, iman, dan tauhid.
b. Shahihul Ibadah (ibadah yang benar)
Shahihul ibadah merupakan salah satu perintah Rasulullah SAW yang penting. Dalam satu haditsnya, beliau bersabda: “Shalatlah kamu sebagaimana melihat aku shalat”. Maka dapat disimpulkan bahwa dalam melaksanakan setiap peribadatan haruslah merujuk/mengikuti (ittiba’) kepada sunnah Rasul SAW yang berarti tidak boleh ditambah-tambahi atau dikurang-kurangi.
Shahihul ibadah merupakan salah satu perintah Rasulullah SAW yang penting. Dalam satu haditsnya, beliau bersabda: “Shalatlah kamu sebagaimana melihat aku shalat”. Maka dapat disimpulkan bahwa dalam melaksanakan setiap peribadatan haruslah merujuk/mengikuti (ittiba’) kepada sunnah Rasul SAW yang berarti tidak boleh ditambah-tambahi atau dikurang-kurangi.
c. Matinul Khuluq (akhlak kokoh)
Matinul khuluq merupakan sikap dan perilaku yang harus dimiliki oleh setiap muslim, baik dalam hubungannya kepada Allah maupun dengan makhluk2-Nya. Dengan akhlak yang mulia, manusia akan bahagia dalam hidupnya, baik di dunia apalagi di akhirat. Karena akhlak yang mulia begitu penting bagi umat manusia, maka salah satu tugas diutusnya Rasulullah SAW adalah untuk memperbaiki akhlak manusia, dimana beliau sendiri langsung mencontohkan kepada kita bagaimana keagungan akhlaknya sehingga diabadikan oleh ALLAH SWT di dalam Al Qur’an sesuai firman-Nya yang artinya: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlak yang agung”. (QS. al-Qalam [68]:4).
Matinul khuluq merupakan sikap dan perilaku yang harus dimiliki oleh setiap muslim, baik dalam hubungannya kepada Allah maupun dengan makhluk2-Nya. Dengan akhlak yang mulia, manusia akan bahagia dalam hidupnya, baik di dunia apalagi di akhirat. Karena akhlak yang mulia begitu penting bagi umat manusia, maka salah satu tugas diutusnya Rasulullah SAW adalah untuk memperbaiki akhlak manusia, dimana beliau sendiri langsung mencontohkan kepada kita bagaimana keagungan akhlaknya sehingga diabadikan oleh ALLAH SWT di dalam Al Qur’an sesuai firman-Nya yang artinya: “Dan sesungguhnya kamu benar-benar memiliki akhlak yang agung”. (QS. al-Qalam [68]:4).
d. Mutsaqqoful Fikri (wawasan yg luas)
Mutsaqqoful fikriwajib dipunyai oleh pribadi muslim. Karena itu salah satu sifat Rasulullah SAW adalah fatonah (cerdas). Al Qur’an juga banyak mengungkap ayat-ayat yang merangsang manusia untuk berfikir, misalnya firman Allah yang artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: ” pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan”. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir”.(QS al-Baqarah [2]:219)Di dalam Islam, tidak ada satupun perbuatan yang harus kita lakukan, kecuali harus dimulai dengan aktifitas berfikir. Karenanya seorang muslim harus memiliki wawasan keislaman dan keilmuan yang luas. Untuk mencapai wawasan yg luas maka manusia dituntut utk mencari/menuntut ilmu, seperti apa yg disabdakan beliau SAW :“Menuntut ilmu wajib hukumnya bagi setiap muslim”.(Muttafaqun ‘alaihi).Dan menuntut ilmu yg paling baik adalah melalui majelis2 ilmu spt yg digambarkan ALLAH SWT dlm firman-Nya:“Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.(QS. al-Mujadilaah [58]: 11).Oleh karena itu ALLAH SWT mempertanyakan kepada kita tentang tingkatan intelektualitas seseorang, sebagaimana firman-Nya yang artinya: Katakanlah: “samakah orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui?, sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”.(QS. az-Zumar [39]:9).
Mutsaqqoful fikriwajib dipunyai oleh pribadi muslim. Karena itu salah satu sifat Rasulullah SAW adalah fatonah (cerdas). Al Qur’an juga banyak mengungkap ayat-ayat yang merangsang manusia untuk berfikir, misalnya firman Allah yang artinya: “Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: ” pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “Yang lebih dari keperluan”. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir”.(QS al-Baqarah [2]:219)Di dalam Islam, tidak ada satupun perbuatan yang harus kita lakukan, kecuali harus dimulai dengan aktifitas berfikir. Karenanya seorang muslim harus memiliki wawasan keislaman dan keilmuan yang luas. Untuk mencapai wawasan yg luas maka manusia dituntut utk mencari/menuntut ilmu, seperti apa yg disabdakan beliau SAW :“Menuntut ilmu wajib hukumnya bagi setiap muslim”.(Muttafaqun ‘alaihi).Dan menuntut ilmu yg paling baik adalah melalui majelis2 ilmu spt yg digambarkan ALLAH SWT dlm firman-Nya:“Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.(QS. al-Mujadilaah [58]: 11).Oleh karena itu ALLAH SWT mempertanyakan kepada kita tentang tingkatan intelektualitas seseorang, sebagaimana firman-Nya yang artinya: Katakanlah: “samakah orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui?, sesungguhnya orang-orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”.(QS. az-Zumar [39]:9).
e. Qowiyyul Jismi (jasmani yg kuat)
Seorang muslim haruslah memiliki daya tahan tubuh sehingga dapat melaksanakan ajaran Islam secara optimal dengan fisiknya yang kuat. Shalat, puasa, zakat dan haji merupakan amalan di dalam Islam yang harus dilaksanakan dengan kondisi fisik yang sehat dan kuat. Apalagi berjihad di jalan Allah dan bentuk-bentuk perjuangan lainnya.Oleh karena itu, kesehatan jasmani harus mendapat perhatian seorang muslim dan pencegahan dari penyakit jauh lebih utama daripada pengobatan. Meskipun demikian, sakit tetap kita anggap sebagai sesuatu yang wajar bila hal itu kadang-kadang terjadi. Namun jangan sampai seorang muslim sakit-sakitan. Bahkan Rasulullah SAW menekankan pentingnya kekuatan jasmani seorang muslim spt sabda beliau yang artinya: “Mukmin yang kuat lebih aku cintai daripada mukmin yang lemah”.(HR. Muslim).
Seorang muslim haruslah memiliki daya tahan tubuh sehingga dapat melaksanakan ajaran Islam secara optimal dengan fisiknya yang kuat. Shalat, puasa, zakat dan haji merupakan amalan di dalam Islam yang harus dilaksanakan dengan kondisi fisik yang sehat dan kuat. Apalagi berjihad di jalan Allah dan bentuk-bentuk perjuangan lainnya.Oleh karena itu, kesehatan jasmani harus mendapat perhatian seorang muslim dan pencegahan dari penyakit jauh lebih utama daripada pengobatan. Meskipun demikian, sakit tetap kita anggap sebagai sesuatu yang wajar bila hal itu kadang-kadang terjadi. Namun jangan sampai seorang muslim sakit-sakitan. Bahkan Rasulullah SAW menekankan pentingnya kekuatan jasmani seorang muslim spt sabda beliau yang artinya: “Mukmin yang kuat lebih aku cintai daripada mukmin yang lemah”.(HR. Muslim).
f. Mujahadatul Linafsihi (berjuang melawan hawa nafsu)
Hal ini penting bagi seorang muslim karena setiap manusia memiliki kecenderungan pada yang baik dan yang buruk. Melaksanakan kecenderungan pada yang baik dan menghindari yang buruk amat menuntut adanya kesungguhan. Kesungguhan itu akan ada manakala seseorang berjuang dalam melawan hawa nafsu. Hawa nafsu yang ada pada setiap diri manusia harus diupayakan tunduk pada ajaran Islam. Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Tidak beriman seseorang dari kamu sehingga ia menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa (ajaran Islam)”.(HR. Hakim).
Hal ini penting bagi seorang muslim karena setiap manusia memiliki kecenderungan pada yang baik dan yang buruk. Melaksanakan kecenderungan pada yang baik dan menghindari yang buruk amat menuntut adanya kesungguhan. Kesungguhan itu akan ada manakala seseorang berjuang dalam melawan hawa nafsu. Hawa nafsu yang ada pada setiap diri manusia harus diupayakan tunduk pada ajaran Islam. Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Tidak beriman seseorang dari kamu sehingga ia menjadikan hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa (ajaran Islam)”.(HR. Hakim).
g. Harishun Ala Waqtihi (disiplin menggunakan waktu)
Harishun ala waqtihi merupakan faktor penting bagi manusia. Hal ini karena waktu mendapat perhatian yang begitu besar dari Allah dan Rasul-Nya. Allah SWT banyak bersumpah di dalam Al Qur’an dengan menyebut nama waktu seperti wal fajri, wad dhuha, wal asri, wallaili dan seterusnya.Waktu merupakan sesuatu yang cepat berlalu dan tidak akan pernah kembali lagi. Oleh karena itu setiap muslim amat dituntut untuk disiplin mengelola waktunya dengan baik sehingga waktu berlalu dengan penggunaan yang efektif, tak ada yang sia-sia. Maka diantara yang disinggung oleh Nabi SAW adalah memanfaatkan momentum lima perkara sebelum datang lima perkara, yakni waktu hidup sebelum mati, sehat sebelum datang sakit, muda sebelum tua, senggang sebelum sibuk dan kaya sebelum miskin.
Harishun ala waqtihi merupakan faktor penting bagi manusia. Hal ini karena waktu mendapat perhatian yang begitu besar dari Allah dan Rasul-Nya. Allah SWT banyak bersumpah di dalam Al Qur’an dengan menyebut nama waktu seperti wal fajri, wad dhuha, wal asri, wallaili dan seterusnya.Waktu merupakan sesuatu yang cepat berlalu dan tidak akan pernah kembali lagi. Oleh karena itu setiap muslim amat dituntut untuk disiplin mengelola waktunya dengan baik sehingga waktu berlalu dengan penggunaan yang efektif, tak ada yang sia-sia. Maka diantara yang disinggung oleh Nabi SAW adalah memanfaatkan momentum lima perkara sebelum datang lima perkara, yakni waktu hidup sebelum mati, sehat sebelum datang sakit, muda sebelum tua, senggang sebelum sibuk dan kaya sebelum miskin.
h. Munazhzhamun fi Syuunihi (teratur dalam suatu urusan)
Munazhzhaman fi syuunihi termasuk kepribadian seorang muslim yang ditekankan oleh Al Qur’an maupun sunnah. Dimana segala suatu urusan mesti dikerjakan secara profesional. Apapun yang dikerjakan, profesionalisme selalu diperhatikan. Bersungguh-sungguh, bersemangat , berkorban, berkelanjutan dan berbasis ilmu pengetahuan merupakan hal-hal yang mesti mendapat perhatian serius dalam penunaian tugas-tugas.
Munazhzhaman fi syuunihi termasuk kepribadian seorang muslim yang ditekankan oleh Al Qur’an maupun sunnah. Dimana segala suatu urusan mesti dikerjakan secara profesional. Apapun yang dikerjakan, profesionalisme selalu diperhatikan. Bersungguh-sungguh, bersemangat , berkorban, berkelanjutan dan berbasis ilmu pengetahuan merupakan hal-hal yang mesti mendapat perhatian serius dalam penunaian tugas-tugas.
i.
Qodirun
Alal Kasbi (memiliki
kemampuan usaha sendiri/mandiri)
Qodirun alal kasbi merupakan ciri lain yang harus ada pada diri seorang muslim. Ini merupakan sesuatu yang amat diperlukan. Mempertahankan kebenaran dan berjuang menegakkannya baru bisa dilaksanakan manakala seseorang memiliki kemandirian terutama dari segi ekonomi. Tak sedikit seseorang mengorbankan prinsip yang telah dianutnya karena tidak memiliki kemandirian dari segi ekonomi. Karena pribadi muslim tidaklah mesti miskin, seorang muslim boleh saja kaya bahkan memang harus kaya agar dia bisa menunaikan ibadah haji dan umroh, zakat, infaq, shadaqah dan mempersiapkan masa depan yang baik. Oleh karena itu perintah mencari nafkah amat banyak di dalam Al Qur’an maupun hadits dan hal itu memiliki keutamaan yang sangat tinggi.Dalam kaitan menciptakan kemandirian inilah seorang muslim amat dituntut memiliki keahlian apa saja yang baik. Keahliannya itu menjadi sebab baginya mendapat rizki dari Allah SWT. Rezeki yang telah Allah sediakan harus diambil dan untuk mengambilnya diperlukan skill atau ketrampilan.
Qodirun alal kasbi merupakan ciri lain yang harus ada pada diri seorang muslim. Ini merupakan sesuatu yang amat diperlukan. Mempertahankan kebenaran dan berjuang menegakkannya baru bisa dilaksanakan manakala seseorang memiliki kemandirian terutama dari segi ekonomi. Tak sedikit seseorang mengorbankan prinsip yang telah dianutnya karena tidak memiliki kemandirian dari segi ekonomi. Karena pribadi muslim tidaklah mesti miskin, seorang muslim boleh saja kaya bahkan memang harus kaya agar dia bisa menunaikan ibadah haji dan umroh, zakat, infaq, shadaqah dan mempersiapkan masa depan yang baik. Oleh karena itu perintah mencari nafkah amat banyak di dalam Al Qur’an maupun hadits dan hal itu memiliki keutamaan yang sangat tinggi.Dalam kaitan menciptakan kemandirian inilah seorang muslim amat dituntut memiliki keahlian apa saja yang baik. Keahliannya itu menjadi sebab baginya mendapat rizki dari Allah SWT. Rezeki yang telah Allah sediakan harus diambil dan untuk mengambilnya diperlukan skill atau ketrampilan.
j.
Nafi’un Lighoirihi (bermanfaat bagi orang lain)
Manfaat yang dimaksud disini adalah manfaat yang baik sehingga dimanapun dia berada, orang disekitarnya merasakan keberadaan. Jangan sampai keberadaan seorang muslim tidak menggenapkan dan ketiadaannya tidak mengganjilkan.Ini berarti setiap muslim itu harus selalu mempersiapkan dirinya dan berupaya semaksimal untuk bisa bermanfaat dan mengambil peran yang baik dalam masyarakatnya. Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain”.(HR. Qudhy dari Jabir).
Manfaat yang dimaksud disini adalah manfaat yang baik sehingga dimanapun dia berada, orang disekitarnya merasakan keberadaan. Jangan sampai keberadaan seorang muslim tidak menggenapkan dan ketiadaannya tidak mengganjilkan.Ini berarti setiap muslim itu harus selalu mempersiapkan dirinya dan berupaya semaksimal untuk bisa bermanfaat dan mengambil peran yang baik dalam masyarakatnya. Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain”.(HR. Qudhy dari Jabir).
Selain
itu, proses pembentukan kepribadian muslim dapat pula dilakukan dengan dua
cara, yaitu: pertama, pembentukan kepribadian muslim sebagai individu dan
pembentukan kepribadian muslim sebagai ummah.[13]
a. Proses pembentukan kepribadian
muslim sebagai individu
Dalam
pembentukan kepribadian muslim sebagai individu pembentukan diarahkan pada
peningkatan dan pengembangan faktor bawaan dan faktor pendidikan yang
berpedoman pada nilai-nilai islam. Faktor bawaan dikembangkan melalui bimbingan
dan pembiasaan berfikir, bersikap dan tingkah laku menurut norma-norma islam.
Sedangkan faktor pendidikan dilakukan dengan cara mempengaruhi individu dengan
menggunakan usaha membentuk kondisi yang mencerminkan pola kehidupan yang
sejalan dengan norma-norma islam seperti contoh, teladan dan lingkungan yang
serasi.
b. Pembentukan kepribadian muslim
sebagai ummah.
Kepribadian muslim sebagai ummah
adalah merupakan komunitas muslim yang memiliki pandangan hidup sama, walaupun
masing-masing mempunyai faktor bawaan yang berbeda. Persamaan pandangan hidup
diyakini akan membantu usaha membina hubungan yang baik serasi antar sesama
anggota keluarga, masyarakat, bangsa, maupun antar sesama manusia sebagai
ummah.
Untuk meraih kriteria Pribadi Muslim
di atas membutuhkan mujahadah dan mulazamah atau kesungguhan dan kesinambungan.
Allah swt berjanji akan memudahkan hamba-Nya yang bersungguh-sungguh meraih
keridloan-Nya. “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan)
kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. dan
Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” QS. Al
Ankabut : 69. Allahu A’lam[14]
BAB III
METODE PENELITIAN
A.
Jenis dan Pendekatan Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis
penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang bermaksud untuk memahami
fenomena tentang apa yang dilihat oleh subjek penilitian misalnya prilaku,
persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain. Secara holistik, dan dengan cara
deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang
alami dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.[15]
2. Pendekatan Penelitian
Adapun
pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan filsafat, yaitu sebuah
pendekatan dengan menggunkan cara berfikir menurut logika bebas kedalam sampaia
kedasar persoalan atau pengetahuanyang mendalam tentang rahasia dan tujuan dari
dari segala sesuatu itu. [16]
B. Teknik Penentuan Sumber
Adapun subjek dalam penelitian ini
dibagi menajdi dua bagian, yaitu:
1. Sumber
primer berupa buku Abd Haris peranan tauhid dalampembentuk kepribadian muslim.
2. Subjek
skunder berupa buku-buku yang berhubungan dengan konsep pendidikan islam,
konsep tauhid.
a. Zuhairini et,al 1992. Filsafat
Pendidikan Islam. (Jakarta: Bumi Aksara, hlm. 186)
b. Abdul
Mujib, Kepribadian Dalam Psikologi Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada)
C. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulna data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Dokumentasi
Dokumentasi ini dilakukan terhdap buku
Peranan tauhid dalam pembentukan kepribadian muslim, serta buku-buku yang
berkaitan dengan konsep pendidikan islam dan tauhid.
2. Wawancar
(interview)
Guna melengkapi data yang dituluskan,
maka akan dilakukan wawancara dengan penulis buku, teman-teman penulis buku.
D. Teknik Analisis Data
Berdasarkan jenis
penelitian di atas, bahwa penelitian ini merupakan penelitian pustaka, maka
langkah-langkah analisis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menelaah
data yang dikumpulkan dari hasi dokumentasi dan wawancara.
2. Mengadakan
reduksi data dengan cara mengambil data yang dapat diolah lebih lanjut.
3. Menafsirkan
data dan mengambil desimpulan secara induktif dengan cara berfikir berdasarkan
fakta-fakta khusus, kemudian diarahkan kepada pemikiran kesimpulan yang umum.
BAB
IV
PEMAHASAN
DAN HASIL
A. Pelaksaan
pendidikan islam dalam meningkatkan kepribadian muslim dilaksanakan dalam
proses pengajaran secara struktur. Sedangkan yang menjadi tujuan pendidikan
islam dalam membahas kepribadian muslim adalah melahirkan Muslim yang berakidah
lurus dan berakhlak baik antara sesama manusia. Hal tersebut didasari akan
pentingnya memiliki ketauhidan dalam membentuk kepribadian muslim. Dalam upaya
mencapai kepribadian mslim tersbut maka ditemukannya konsep katauhidan yang
terangkul dalam buku Abd Haris peranan tauhid dalam pembentukan kepribadian
muslim,: Sebuah kajian filsafat pendidikan Islam. Zuhairini et,al 1992. Filsafat
Pendidikan Islam. (Jakarta: Bumi Aksara, ) Abdul Mujib,
Kepribadian Dalam Psikologi Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada).
B. Peran
tauhid dalam pembentukan kepribadian Muslim memiliki arti serangkaian perilaku normatif manusia, baik
sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial yang normanya diturunkan dari
ajaran islam dan bersumber dari Al-Quran dan al-Sunnah. Kepribadian
muslim dalam kontek ini barang kali dapat diartikan sebagai identitas yang
dimiliki seseorang sebagai ciri khas bagi keseluruhan tingkah laku
sebagai muslim, baik yang disampaikan dalam tingkah laku secara lahiriyah
maupun sikap batinnya. Tingkah laku lahiriyah seperti cara berkata-kata,
berjalan, makan, minum, berhadapan dengan orang tua, guru, teman sejawat, sanak
famili dan sebagainya. Sedangkan sikap batin seperti penyabar, ikhlas, tidak
sengaja, dan sikap terpuji yang timbul dari dorongan batin. Peneliti dapatkan beberapa
kekurangan baik faktor internal dan eksternal tantanng kpribadian muslim. Hal
ini terbut perlu ada upaya kontekstualisasi dengan konteks daerahnya
masing-masing.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pembentuk
kepribadian dalam pendidikan islam meliputi sikap, sifat, reaksi, perbuatan,
dan perilaku. Pembentukan ini secara relatif menetap pada diri seseorang yang
disertai beberapa pendekatan, yakni pembahasan mengenai tipe kepribadian, tipe
kematangan kesadaran beragama, dan tipe orang-orang beriman. Melihat kondisi
dunia pendidikan di indonesia sekarang, pendidikan yang dihasilkan belum mampu
melahirkan pribadi-pribadi muslim yang mandiri dan berkepribadian islam.
Akibatnya banyak pribadi-pribadi yang berjiwa lemah seperti jiwa koruptor,
kriminal, dan tidak amanah.
Untuk itu
membentuk kepribadian dalam pendidikan islam harus direalisasikan sesuai
Al-Qur’an dan al-Sunnah nabi sebagai identitas kemuslimannya, dan mampu
mengejar ketinggalan dalam bidang pembangunan sekaligus mampu mengentas
kebodohan dan kemiskinan. Konsep kepribadian dalam pendidikan islam identik
dengan ajaran islam itu sendiri, keduanya tidak dapat dipisahkan karena saling
berkaitan.
Membentuk
kepribadian dalam pendidikan islam dibutuhkan beberapa langkah-langkah.
Membicarakan kepribadian dalam pendidikan islam, artinya membicarakan cara
untuk menjadi seseorang yang memiliki identitas dari keseluruhan tingkah laku
yang berbasis agama.
Kepribadian
muslim yaitu kepribadian yang seluruh aspek-aspeknya baik tingkah laku luarnya,
kegiatan jiwanya maupun falsafah hidupnya dan menunjukkan pengabdian kepada
tuhan dan penyerahan diri kepadan-Nya dengan disertai beberapa sifat yang
mencerminkan ciri khas sebagai seorang muslim.
Kepribadian
muslim merupakan suatu hasil dari proses sepanjang hidup. Kepribadian muslim
tidak terjadi sekaligus, akan tetapi terbentuk melalui proses kehidupan yang
panjang. Oleh sebab itu banyak factor yang membentuk kepribadian muslim
tersebut.
Pada
dasarnya pembentukan kepribadian muslim sebagai individu, keluarga, masyarakat,
maupun ummah pada hakikatnya seiring dan menuju ketujuan yang sama. Tujuan
utamanya adalah guna merealisasikan diri, baik secara pribadi maupun secara
komunitas untuk menjadi pengabdi Allah yang setia, tunduk dan patuh pada aturan
Allah
B.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini
dapat disarankan pada beberapa pihak, diantaranya:
1. Bagi penulis buku terutama buku peranan tauhid dalam pengembangan
kepribadian musim hendaknya menambah wawasan tentang kepribadian muslim.
2. Bagi penulis buku hendaknya dapat menambah pemahaman di bidang
Agama dalam buku tersebut, agar dapat menerapkan kepribadian muslim kepada
pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Aziz Ahyadi, Psikologi Agama (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1995).
Abdul
Khobir, Filsafat Pendidikan Islam, (Pekalongan : Gama Media Offset, 2009)
Abdul
Mujib, Kepribadian dalam psikologi islam (jakarta: Raja Grafindo Persada,
2006).
Abdul
Mujib, Kepribadian dalam psikologi islam (jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006).
Abdul
Mujib, Kepribadian Dalam Psikologi Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada),
Depdiknas,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka),
Depdiknas, Undang-Undang RI NO 14 Tahun
2005 dan Peraturan Pemerintah RI No.74 Tahun 2008 tentang Guru dan Dosen,
(Bandung: Citra Umbara, 2009),
Ismail,
M Syah, Filsafat Ilmu Islam (Jakarta: Bumi Aksara dan Depak, 1991)
Jalaluddin dan Usaman Said, 1994.
Filsafat Pendidikan Agama Islam (Konsep dan Perkembangan Pemikirannya).
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
Jalaluddin,
Teologi Pendidikan (Jakarta: Raja Grasindo Persada, 2001).
Lexi,
J Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya),
2006,
M.
Arifin, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1994).
Moh
Roqib, Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta:LKis, 2009),
Saeful fachri, “Membentuk Kepribadian
Islam”, dalam http://dakwahkampus.com/pemikiran/pendidikan/1444-pendidikan-islam-membentuk-kepribadian-islam.html.
Zuhairini
et,al 1992. Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta: Bumi Aksara,)
[1]Depdiknas,
Undang-Undang RI NO 14 Tahun 2005 dan Peraturan Pemerintah RI No.74 Tahun 2008
tentang Guru dan Dosen, (Bandung: Citra Umbara, 2009), hlm. 64.1
[2]Moh
Roqib, Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta:LKis, 2009), hlm.30.
[3]
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka), hlm. 135.
[9]Jalaluddin dan Usaman Said, 1994. Filsafat
Pendidikan Agama Islam (Konsep dan Perkembangan Pemikirannya). Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, hlm. 92
[10]Saeful fachri, “Membentuk Kepribadian
Islam”, dalam
http://dakwahkampus.com/pemikiran/pendidikan/1444-pendidikan-islam-membentuk-kepribadian-islam.html.
[11]M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1994).
[15] Lexi, J Moleong, Metodelogi
Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya), 2006, hal. 6