REVISI
MAKALAH
ISLAM MASA KEPEMIMPINAN
KHULAFAUR AL-RASYIDIN
Makalah ini di Presentasekan pada Seminar Mata Kuliah
Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam

Disusun Oleh
DTM AYUB AZHARI
3003183056
Jurusan Pendidikan Islam (PEDI A)
Dosen Pembimbing : Dr. Siti Zubaidah, M, Ag
PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUMATERA UTARA
MEDAN
2018-2019
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum WR.WB
Puji syukur saya panjatkan kepada Allah swt atas segala rahmatnya yang telah
menciptakan manusia di atas mahkluk –mahkluk yang lain . Juga tidak lupa
shalawat dan salam atas junjungan kita nabi Muhammad saw beserta pengikutnya .
Alhamdulilah berkat rahmat dan karunia nya saya dapat meyelesaikan makalah yang berjudul “MASA KEPEMIMPINAN KHULAFAUR
ROSYIDIN. Makalah ini akan sedikit mengupas kehidupan politik pada masa Khulafa
al –rasyidin yang di sajikan secara ringkas.
Namun saya menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangannya untuk itu
saran dan kritiknya sangat saya harapkan.
Akhir kata saya ucapkan Terima kasih
untuk semua yang berpartisipasi dalam oprasional makalah ini
semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk kita semua . Amin
Wassalam
Medan, 25 Oktober 2018
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemerintah politik masa Khulafar Rasyidin di masa Abu Bakar, Umar ,Usman , dan Ali sudah pasti berbeda
setiap memegang ke pimpinannya , pada masa Khulafar Rasyidin prinsip musyawarah ,
persaman rebeyasan berpendapat menjadi realisasi dari penerapan ajaran al-
quran dan sunah rasul . pemahaman dan penafsiran terhadap pemerintahan Khulafaur Rasyidin , pasca dan
sekarang sangat berkaitan sehingga sistem pemerintahan yang telah dibentuk dari
masa ke masa berkembang menjadi seperti sekarang. Sistem pemerintahan yang didirikan oleh
pendahuluannya yang dapat menambah wawasan pembaca tentang pemerintahan yang
pernah di praktikan dan diterapkan dalam dunia Islam hingga saat ini.
Makalah ini akan
membahas tentang masa kepemimpinan Khulafaur Rasyidin yang mencakup pada sistem
pemerintahan, dasar hukum kepermerintahan, perluasan wilayah disetiap pemimpin
pada masa Khulafaur Rasyidin.
BAB
II
PEMERINTAHAN KHULAFAUR RASYIDIN
Dahulu, nama aslinya adalah Abdullah bin Abi Quhafa at Tamimi. Tetapi, setelah
masuk Islam namanya diganti oleh Rasulullah sehingga menjadi Abu Bakar. Gelar
Ash- Shiddiq diberikan padanya karena ia adalah orang yang pertama mengakui
peristiwa Isra' Mi'raj. Lalu, ia pun diberi gelar Ash- Shiddiq (Orang yang
percaya).
Maka ditunjuklah Abu Bakar untuk menggantikannya. Bagi sebagian
warga Madinah, ini adalah indikasi bahwa suksesi kepemimpinan Rasulullah SAW
diteruskan kepada Abu Bakar. Ketika Rasulullah wafat, sebagian kalangan muslim
Anshar dan beberapa orang dari pihak Muhajirin mengadakan pertemuan di Saqifah Bani
Sa'idah.[1]
Sempat terjadi perselisihan antara kaum Muhajirin dan Anshar. Dan akhirnya,
terpilihlah Abu Bakar as-Siddiq sebagai Khalifah pertama.
Khilafah Rasyidin merupakan para pemimpin ummat Islam setelah Nabi
Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wasallam wafat, yaitu pada masa pemerintahan Abu
Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, Radhiallahu
Ta’ala anhu ajma’in dimana sistem pemerintahan yang diterapkan adalah
pemerintahan yang islami karena berundang-undangkan dengan Al-Qur’an dan
As-Sunnah.[2]

Sebagai pemimpin umat Islam setelah Rasul, Abu Bakar Radhiallahu
‘anhu disebut Khalifah Rasulullah (Pengganti Rasul Allah) yang dalam
perkembangan selanjutnya disebut khalifah saja.
Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu menjadi khalifah hanya dua tahun. Pada
tahun 634 M ia meninggal dunia. Masa sesingkat itu habis untuk menyelesaikan
persoalan dalam negeri terutama tantangan yang disebabkan oleh suku-suku bangsa
Arab yang tidak mau tunduk lagi kepada pemerintah Madinah sepeninggal
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wasallam. Mereka menganggap bahwa perjanjian
yang dibuat dengan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wasallam, dengan
sendirinya batal setelah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wasallam wafat. Karena itu
mereka menentang Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu. Karena sikap keras kepala dan
penentangan mereka yang dapat membahayakan agama dan pemerintahan, Abu Bakar
Radhiallahu ‘anhu menyelesaikan persoalan ini dengan apa yang disebut Perang
Riddah (perang melawan kemurtadan). Khalid ibn Al-Walid Radhiallahu ‘anhu
adalah panglima yang banyak berjasa dalam Perang Riddah ini.
Nampaknya, kekuasaan yang dijalankan pada masa Khalifah Abu Bakar
Radhiallahu ‘anhu, sebagaimana pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wasallam, bersifat sentral; kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif
terpusat di tangan khalifah. Selain menjalankan roda pemerintahan, Khalifah
juga melaksanakan hukum yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Meskipun demikian, seperti juga Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wasallam, Abu
Bakar Radhiallahu ‘anhu selalu mengajak sahabat-sahabat nya bermusyawarah
sebelum mengambil keputusan mengenai sesuatu,yang berfungsi sebagai lembaga
legislatif pemerintahannya.[3]
Setelah menyelesaikan urusan perang dalam negeri, barulah Abu Bakar
Radhiallahu ‘anhu mengirim kekuatan ke luar Arabia. Khalid ibn Walid
Radhiallahu ‘anhu dikirim ke Iraq dan dapat menguasai wilayah al-Hirah di tahun
634 M. Ke Syria dikirim ekspedisi di bawah pimpinan empat panglima yaitu Abu
Ubaidah ibnul Jarrah, Amr ibnul 'Ash, Yazid ibn Abi Sufyan dan Syurahbil
Radhiallahu Ta’ala anhu ajma’in.
Urusan pemerintahan diluar
kota Madinah, Khalifah Abu Bakar membagi
wilayah kekuasaan hukum Negara Madinah menjadi beberapa propinsi, dan setiap
propinsi Ia menugaskan seorang amir atau wali (semacam jabatan gubernur).
Adapun system politik Islam pada masa Abu Bakar
bersifat “sentral”. Jadi kekuasaan legislative, eksekutif dan yudikatif
terpusat ditangan Khalifah, meskipun demikian dalam memutuskan suatu masalah,
Abu Bakar mengajak para sahabat untuk bermusyawarah.[4]
Mengenai praktek pemerintahan Abu Bakar di bidang pranata social
ekonomi adalah mewujudkan keadilan dan kesejahteraan social rakyat.untuk
kemaslahatan rakyat ini ia mengolah zakat, infak,sadaqoh yang berasal dari kaum
muslimin, ghanimah harta rampasan perang dan jizyah dari warga Negara
non-muslim, sebagai sumber pendapatan baitul mal. Penghasilan yang diperoleh
dari sumber-sumber pendapatan Negara ini di bagikan untuk kesejahteraan
tentara, bagi para pegawai Negara,dan kepada rakyat yang berhak menerima sesuai
ketentuan al-quran.
Pada saat Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu meninggal dunia, sementara
barisan depan pasukan Islam sedang mengancam Palestina, Irak, dan kerajaan
Hirah. Ia diganti oleh "tangan kanan" nya, Umar ibn Khatthab al-Faruq
Radhiallahu ‘anhu. Ketika Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu sakit dan merasa ajalnya
sudah dekat, ia bermusyawarah dengan para pemuka sahabat, kemudian mengangkat
Umar ibn Khatthab Radhiallahu ‘anhu sebagai penggantinya dengan maksud untuk
mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan di kalangan umat
Islam. Kebijaksanaan Abu Bakar Radhiallahu ‘anhu tersebut ternyata diterima
masyarakat yang segera secara beramai-ramai membaiat Umar Radhiallahu‘anhu .
Umar Radhiallahu ‘anhu menyebut dirinya Khalifah Rasulullah (pengganti dari
Rasulullah). Ia juga memperkenalkan istilah Amir al-Mu'minin (petinggi
orang-orang yang beriman).[5]
Dari penunjukkan Umar sebagai penggantinya, ada hal yang perlu
dicatat:
1.
Bahwa Abu Bakar dalam menunjuk
Umar tidak meninggalkan azas musyawarah.ia lebih ulu mengadakan konsultasi
untuk mengetahui aspirasi rakyat melalui tokoh-tokoh kaum muslimin.
2.
Abu Bakar tidak menunjuk salah
seorang putranya atau kerabatnya melainkan memilih seseorang yang disegani oleh
rakyat karena sifat-sifat terpuji yang dimilikinya.
3.
Pengukuhan Umar sebagai
khalifah sepeniggal Abu Bakar berjalan baik dalam suatu bai’at umum dan terbuka
tanpa ada pertentangan dikalangan kaum muslimin sehingga opsesi Abu Bakar untuk
mempertahankan keutuhan umat Islam dengan cara penunjukkan itu terjamin.
Umar bin Khatab adalah keturunan Quraisy dari suku
Bani Adiy. Suku bani ady terkenal sebagai suku yang terpandang mulia dan
berkedudukan tinggi pada masa jahiliyah. Umar bekerja sebagai saudagar, juga
sebagai duta penghubung ketika terjadi suatu masalah antara kaumnya dengan suku
arab lain. Sebelum masuk islam beliau adalah orang yang paling depan dalam
membela Islam tanpa rasa takut dan gentar.[6]
Ketika Abu Bakar merasakan sakitnya semakin berat, ia mengumpulkan
para sahabat besar dan menunjuk Umar bin Khattab sebagai Khalifah. Para sahabat
setuju dan Abu Bakar meninggalkan surat wasiat yang menunjuk Umar sebagai
penggantinya.sebagai mana Abu Bakar, Umar bin Khattab pun di bai’at dihadapan umat
muslimin.bagian dari pidatonya adalah:
“Aku telah dipilih jadi Khalifah. Kerendahan hati Abu Bakar selaras dengan jiwanya yang terbaik diantara kamu dan lebih
kuat diantara kamu dan juga lebih mampu memikul urusan kamu yang
penting-penting.aku diangkat dalam jabatan ini tidaklah sama seperti
beliau.andaikata aku tau ada orang yang lebih kuat daripada aku untuk memikul
jabatan ini, maka memberikan leherku untuk dipotong lebih aku sukai daripada
memikul jabatan ini.[7]
Sebagai seorang negarawan yang patut diteladani.ia telah
menggariskan:
1.
persyaratan bagi calon Negara;
2.
menetapkan dasar-dasar
pengelolaan Negara;
3.
mendorong para pejabat Negara
agar benar-benar meperhatikan kemaslhatan rakyat dan melindungi hak-haknya
karena mereka adalah pengabdi rakyat dan bagian dari rakyat itu sendiri;
4.
pejabat yang dipegang seseorang
adalah amanah yang harus dipertanggung jawabkan kepada tuhan dan rakyat
5.
mendidik rakyat supaya berani
memberi nasihat dan kritik kepada pemerintah,pemerintah juga harus berani
menerima kritik dari siapapun sekalipun menyakitkan karena pemerintah lahir
rakyat dan untuk rakyat;
6.
khalifah Umar telah meletakkan
dasar-dasar pengadilan dalam islam.
Ia selalu mengadakan musyawarah dengan tokoh-tokoh ansar dan
Muhajirin, dengan rakyat dan dengan para administrator pemerintahan untuk
memecahkan masalah-masalah umumdan kenegaraan.ia tidak bertindak
sewenang-wenang dan memutuskan suatu urusan tanpa mengikutsertakan warga umat.
Hasil musyawarah atau konsultasi khalifah diakhir hidupnya dengan
sejumlah pemuka masyarakat madinah yang terpenting adalah terbentuknya “tim
formatur”yang bertugas memilih khalifah setelah Umar. Konsultasi ini terjadi ketika keadaan jiwanya akibat tikaman enam
kali yang dilakukan Abu lu’luah karena dendam,dan ini ini mengakibatkan
kewafatannya.[8]
Di zaman Umar Radhiallahu ‘anhu gelombang ekspansi (perluasan daerah
kekuasaan) pertama terjadi; ibu kota Syria, Damaskus, jatuh tahun 635 M dan
setahun kemudian, setelah tentara Bizantium kalah di pertempuran Yarmuk,
seluruh daerah Syria jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Dengan memakai Syria
sebagai basis, ekspansi diteruskan ke Mesir di bawah pimpinan 'Amr ibn 'Ash
Radhiallahu ‘anhu dan ke Irak di bawah pimpinan Sa'ad ibn Abi Waqqash
Radhiallahu ‘anhu. Iskandariah/Alexandria, ibu kota Mesir, ditaklukkan tahun
641 M. Dengan demikian, Mesir jatuh ke bawah kekuasaan Islam. Al-Qadisiyah,
sebuah kota dekat Hirah di Iraq, jatuh pada tahun 637 M. Dari sana serangan
dilanjutkan ke ibu kota Persia, al-Madain yang jatuh pada tahun itu juga. Pada tahun
641M , Moshul dapat dikuasai. Dengan demikian, pada masa kepemimpinan Umar
Radhiallahu ‘anhu, wilayah kekuasaan Islam sudah meliputi Jazirah Arabia,
Palestina, Syria, sebagian besar wilayah Persia, dan Mesir.[9]
Karena perluasan daerah terjadi dengan cepat, Umar Radhiallahu ‘anhu
segera mengatur administrasi negara dengan mencontoh administrasi yang sudah
berkembang terutama di Persia. Administrasi pemerintahan diatur menjadi delapan
wilayah propinsi: Makkah, Madinah, Syria, Jazirah Basrah, Kufah, Palestina, dan
Mesir. Beberapa departemen yang dipandang perlu didirikan. Pada masanya mulai
diatur dan ditertibkan sistem pembayaran gaji dan pajak tanah. Pengadilan
didirikan dalam rangka memisahkan lembaga yudikatif dengan lembaga eksekutif.
Adapun kekuasaan eksekutif dipegang oleh Umar bin Khhattab dalam
kedudukannya sebagai kepala Negara.untuk menunjung kelancaran administrasi dan
operasional tugas-tugas eksekutif, Umar melengkapinya dengan beberapa
jawatan,diantaranya:
1. Diwana
al-kharaj(jawatan pajak)
2. Diwana
alahdats(jawatan kepolisian)
3. Nazarat
al-nafi’at(jawatan pekerjaan umum)
4. Diwana
al-jund(jawatan militer)
5. Baitul
al-mal(baitul mal)[10]
Sumber-sumber keuangan Negara untuk mengisi baitul mal diperoleh
dari alfarz,usyri,usyur,zakat dan jizya.
Umar Radhiallahu ‘anhu memerintah selama sepuluh tahun (13-23
H/634-644 M). Masa jabatannya berakhir dengan kematian. Dia dibunuh oleh
seorang majusi, budak dari Persia bernama Abu Lu'lu'ah. Untuk menentukan
penggantinya, Umar Radhiallahu ‘anhu tidak menempuh jalan yang dilakukan Abu
Bakar Radhiallahu ‘anhu. Dia menunjuk enam orang sahabat dan meminta kepada
mereka untuk memilih salah seorang diantaranya menjadi khalifah. Enam orang
tersebut adalah Usman, Ali, Thalhah, Zubair, Sa'ad ibn Abi Waqqash, Abdurrahman
ibn 'Auf Radhiallahu Ta’ala anhu ajma’in. Setelah Umar Radhiallahu ‘anhu wafat,
tim ini bermusyawarah dan berhasil menunjuk Utsman Radhiallahu ‘anhu sebagai
khalifah, melalui proses yang agak ketat dengan Ali bin Abi Thalib Radhiallahu
‘anhu.
Umar bin Khattab tidak dapat memutuskan bagaimana cara terbaik
menentukan khalifah penggantinya. Segera setelah peristiwa penikaman dirinya
oleh Fairuz, seorang majusi persia, Umar mempertimbangkan untuk tidak memilih
pengganti sebagaimana dilakukan Rasulullah. Namun Umar juga berpikir untuk
meninggalkan wasiat seperti dilakukan Abu Bakar. Sebagai jalan keluar, Umar
menunjuk enam orang Sahabat sebagai Dewan Formatur yang bertugas memilih
Khalifah baru. Keenam Orang itu adalah Abdurrahman bin Auf,
Saad bin Abi
Waqqash, Thalhah bin
Ubaidillah, Zubair bin
Awwam, Utsman bin
Affan dan Ali bin Abi
Thalib.
Setelah melalui perdebatan yang cukup lama, muncul dua nama yang
bersaing ketat yakni Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Keputusan
terakhir diserahkan kepada Abdurrahman bin Auf sebagai ketua Dewan yang
kemudian menunjuk Utsman bin Affan sebagai Khalifah.[11]
Setelah Usman bin Affan dilantik menjadi Khlifah ketiga Negara
madinah ,ia menyampaikan pidatonya yang menggambarkan dirinya sebagai sufi, dan
citra pemerintahannya lebih bercorak agama ketimbang politik belaka sebagai
dominan.dalam pidato itu usman mengingatkan beberapa hal yang penting:[12]
1. agar
umat islam berbuat baik sebagai bekal untuk hari kematian;
2. agar
umat islam terpedaya kemewahan hidup dunia yang penuh kepalsuan
3. agar
umat islam mau mengambil pelajaran dari masa lalu;
4. sebagai
khalifah ia akan melaksanakan perintah al-quran dan sunnah rasul;
5. di
samping ia akan meneruskan apa yang telah dilkukan pendahulunya juga akan
membuat hal baru yag akan membawa kepada kebajikan
6. umat
islamboleh mengkririknya bila ia menyimpang dari ketentuan hokum
Untuk pelaksanaan administrasi pemerintahan di daerah, Khalifah Usman mempercayakannya
kepada seorang gubernur untuk setiap wilayah atau propinsi pada masanya
kekuasaan wilayah madinadibagi menjadi 10 propinsi:
1.
Nafi’bin al-haris
al-khuza’i,amir wilayah mekkah;
2.
Sufyan bin Abdullah
al-tsaqqfi,amir wilayah thaif
3.
Ya’la bin Munabbih Halif
BaniNauful bin Abd Manaf,amir wilayah Shan’a
4.
Abdullah bin Abi Rabiah ,Amir wilayah a-janad;
5.
Usman bin Abi
al-ashal-Tsaqafi,Amir wilayah Bahrain;
6.
Al-Mughirah bin Syu’bah
al-tsaqi, Amir wilayah Kufah;
7.
Abu Musa Abdullah bin Qais
al-Asy’ari,Amir wilayah Basrah;
8.
Muawiyah bin Abi Sufyan ,Amir
wilayah Damaskus
9.
Umar bin Sa’ad ,Amir wilayah
Himsh;dan
Sedangkan kekuasaan legislative dipegang oleh Dewan Penasehat Syura,
tempat khalifah mengadakan musyawarah dengan para sahabat terkemuka.
Prestsai tertinggi masa pemerintahan Usman sebagai hasil majlis
syura adalah menyusun al-quran standar , yaitu penyeragaman bacaan dan tulisan
al-quran,seperti yang dikenal sekarang.naskah salinan al-quran tersebut
disimpan dirumah istri nabi kemudian naskah salinannya atas persetujuan para
sahabat dikirim ke beberapa daerah.
Di masa pemerintahan Utsman Radhiallahu ‘anhu (644-655 M), Armenia,
Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa dari Persia, Transoxania, dan
Tabaristan berhasil direbut. Ekspansi Islam pertama berhenti sampai di sini.
Untuk mengisi baitul mal diperoleh dari alfarz,usyri,usyur,zakat dan
jizya.if,Umar melengkapinya dengan beberapa jawatan.[14]
Pemerintahan Usman Radhiallahu ‘anhu berlangsung selama 12 tahun,
pada paruh terakhir masa kekhalifahannya muncul perasaan tidak puas dan kecewa
di kalangan umat Islam terhadapnya. Kepemimpinan Utsman Radhiallahu ‘anhu
memang sangat berbeda dengan kepemimpinan Umar Radhiallahu ‘anhu. Ini karena
fitnah dan hasutan dari Abdullah bin Saba’ Al-Yamani salah seorang yahudi yang
berpura-pura masuk islam. Ibnu Saba’ ini gemar berpindah-pindah dari suatu
tempat ke tempat lainnya untuk menyebarkan fitnah kepada kaum muslimin yang
baru masa keislamannya. Akhirnya pada tahun 35 H/1655 M, Utsman Radhiallahu
‘anhu dibunuh oleh kaum pemberontak yang terdiri dari orang-orang yang berhasil
dihasut oleh Abdullah bin Saba’.[15]
Tahun-tahun berikutnya, pemerintahannya Usman mulai goyah.Rakyat
dibeberapa daerah terutama Kufah,Basrah dan Mesir mulai memprotes
kepemimpinannya yang dinilai tidak adil.Salah satu faktor yang menyebabkan
banyak rakyat berburuk sangka terhadap kepemimpinan Utsman Radhiallahu ‘anhu
adalah kebijaksanaannya mengangkat keluarga dalam kedudukan tinggi. Yang
terpenting diantaranya adalah Marwan ibn Hakam Rahimahullah. Dialah pada
dasarnya yang dianggap oleh orang-orang tersebut yang menjalankan pemerintahan,
sedangkan Utsman Radhiallahu ‘anhu hanya menyandang gelar Khalifah. Setelah
banyak anggota keluarganya yang duduk dalam jabatan-jabatan penting, Dia juga
tidak tegas terhadap kesalahan bawahan. Harta kekayaan negara, oleh kerabatnya
dibagi-bagikan tanpa terkontrol oleh Usman Radhiallahu ‘anhu sendiri. Itu semua
akibat fitnah yang ditebarkan oleh Abdullah bin Saba’.[16]
Padahal Utsman Radhiallahu ‘anhu yang paling berjasa membangun
bendungan untuk menjaga arus banjir yang besar dan mengatur pembagian air ke
kota-kota. Dia juga membangun jalan-jalan, jembatan-jembatan, masjid-masjid dan
memperluas masjid Nabi di Madinah.
A. KHALIFAH ALI
bin ABI THALIB (35-40 H)
Umat yang tidak punya pemimpin dengan wafatnya Utsman, membaiat Ali
bin Abi Thalib sebagai Khalifah baru.
Pengukuhan Ali menjadi khalifah tidak semulus pengukuhan tiga orang
khalifah pendahulunya.ia di bai’at di tengah-tengah kematian usman, pertentangan
dan kekacauandan kebingungan umat Islam Madinah.sebab kaum pemberontak yang membunuh Usman mendaulat
Ali supaya bersedia dibaiat menjadi Khalifah.
Dalam pidatonya khalifah Ali menggambarkan dan memerintahkan agar
umat islam:
1. tetap
berpegang teguh kepada al-quran dan sunnah rasul
2. taat
dan bertaqwa kepada Allah serta mengabdi kepada Negara dan sesame manusia
3. saling
memelihara kehormatan di antara sesame muslim dan umat lain
4. terpanggil
untuk berbuat kebajikan bagi kepentingan umum,dan
5. taat
dan patuh kepada pemerintah.
Tidak lama setelah itu, Ali ibn Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu
menghadapi pemberontakan Thalhah, Zubair dan Aisyah. Alasan mereka, Ali
Radhiallahu ‘anhu tidak mau menghukum para pembunuh Utsman Radhiallahu ‘anhu ,
dan mereka menuntut bela terhadap darah Utsman Radhiallahu ‘anhu yang telah
ditumpahkan secara zhalim. Ali Radhiallahu ‘anhu sebenarnya ingin sekali
menghindari perang. Dia mengirim surat kepada Thalhah dan Zubair Radhiallahu
‘anhu ajma’in agar keduanya mau berunding untuk menyelesaikan perkara itu
secara damai. Namun ajakan tersebut ditolak. Akhirnya, pertempuran yang dahsyat
pun berkobar. Perang ini dikenal dengan nama Perang Jamal (Unta), karena Aisyah
Radhiallahu ‘anha dalam pertempuran itu menunggang unta, dan berhasil
mengalahkan lawannya. Zubair dan Thalhah terbunuh, sedangkan Aisyah Radhiallahu
‘anha ditawan dan dikirim kembali ke Madinah.[17]
Dengan demikian masa pemerintahan Ali melalui masa-masa paling
kritis karena pertentangan antar kelompok yang berpangkal dari pembunuhan
Usman.namun Ameer Ali menyatakan:…ia berhasil memecat sebagian besar gubernur
yang korupsi dan mengembalikan kebijaksanaan Umar pada setiap kesempatan yang
memungkinkan.ia membenahi dan menyusun arsip Negara untuk mengamankan dan
menyelamatkan dokumen-dokumen khalifah dan kantor sahib-ushsurtah,serta
mengordinir polisi dan menetapkan tugas-tugas mereka.
Kebijaksanaan-kebijaksanaan Ali Radhiallahu ‘anhu juga mengakibatkan
timbulnya perlawanan dari para gubernur di Damaskus, Mu'awiyah Radhiallahu
‘anhu, yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi yang merasa kehilangan
kedudukan dan kejayaan. Setelah berhasil memadamkan pemberontakan Zubair,
Thalhah dan Aisyah, Ali Radhiallahu ‘anhu bergerak dari Kufah menuju Damaskus
dengan sejumlah besar tentara. Pasukannya bertemu dengan pasukan Mu'awiyah
Radhiallahu ‘anhu di Shiffin. Pertempuran terjadi di sini yang dikenal dengan
nama perang shiffin. Perang ini diakhiri dengan tahkim (arbitrase), tapi tahkim
ternyata tidak menyelesaikan masalah, bahkan menyebabkan timbulnya golongan
ketiga, al-Khawarij, orang-orang yang keluar dari barisan Ali Radhiallahu
‘anhu. Akibatnya, di ujung masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib Radhiallahu
‘anhu umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik, yaitu Mu'awiyah, Syi'ah
(pengikut Abdullah bin Saba’ al-yahudi) yang menyusup pada barisan tentara Ali
Radhiallahu ‘anhu, dan al-Khawarij (orang-orang yang keluar dari barisan Ali).
Keadaan ini tidak menguntungkan Ali Radhiallahu ‘anhu. Munculnya kelompok
al-khawarij menyebabkan tentaranya semakin lemah, sementara posisi Mu'awiyah
Radhiallahu ‘anhu semakin kuat. Pada tanggal 20 ramadhan 40 H (660 M), Ali
Radhiallahu ‘anhu terbunuh oleh salah seorang anggota Khawarij yaitu Abdullah
bin Muljam.[18]
Harus diakui ada beberapa kasus dan peristiwa pada masa khalifah
Usman dan Ali yang tidak menyenangka.tapi perlu dicatat secara umum mengenai
beberapa hal yang dicontohkan oleh khulafa al-Rasyidin dalam memimpin Negara
Madinah. Pertama, mengenai pengangkatan empat
orang sahabat Nabi terkemuka itu menjadi Khalifah dipilih dan diangkat dengan
cara yang berbeda. 1) Pemilihan bebas dan terbuka melalui forum
musyawarah tanpa ada seorang calon sebelumnya. Karena Rasulullah SAW tidak
pernah menunjuk calon penggantinya. Cara ini terjadi pada musyawarah
terpilihnya Abu Bakar dibalai pertemuan Tsaqifah Bani Syaidah. 2)
Pemilihan dengan cara pencalonan atau penunjukan oleh khalifah sebelumnya
dengan terlebih dahulu mengadakan konsultasi dengan para sahabat terkemuka dan
kemudian memberitahukan kepada umat islam, dan mereka menyetujuinya. Penunjukan
itu tidak karena ada hubungan keluarga antara khalifah yang mencalonkan dan
calon yang di tunjuk. Cara ini terjadi pada penunjukan Umar oleh khalifah Abu
Bakar. 3) Pemilihan team atau Majelis Syura yang di bentuk khalifah.
Anggota tem bertugas memilih salah seorang dari mereka menjadi khalifah. Cara
ini terjadi pada Usman melalui Majelis Syura yang dibentuk oleh khalifah Umar
yang beranggotakan enam orang. 4) Pengangkatan spontanitas di
tengah-tengah situasi yang kacau akibat pemberontakan sekelompok masyarakat
muslim yang membunuh usman.Cara ini terjadi pada Ali yang dipilih oleh kaum
pemberontak dan umat Islam Madinah. Kedua,Pemerintahan Khulafa’
al-Rasyidin tidak mempunyai konstitusi yang dibuat secara khusus sebagai dasar
dan pedoman penyelenggaraan pemerintahan. Undang-undang nya adalah Al-Qur’an
dan Sunnah Rasul ditambah dengan hasil ijtihad khalifah dan keputusan Majelis
Syura dalam menyelesaikan masalah-masalah yang timbul yang tidak ada penjelasannya
dalam nash syariat. Ketiga,Pemerintahan khulafa al-Rasyidin juga
tidak mempunyai ketentuan mengenai masa jabatan bagi setiap khalifah. Mereka
tetap memegang jabatan itu selama berpegang kepada syariat islam. Keempat,dalam penyelenggaraan
pemerintahan Negara Madinah khulafa al-Rasyidin telah melaksanakan prinsip
musyawarah, prinsip persamaan bagi semua lapisan masyarakat dalam berbagai aspek
kehidupan, prinsip kebebasan berpendapat, prinsip keadilan social dan
kesejahteraan rakyat. Kelima,dasar dan pedoman
penyelenggaraan pemerintahan Negara Madinah adalah Al-Qur’an dan Sunnah rasul,
hasil ijtihad penguasa, dan hasil keputusan Majelis Syura. Karenanya corak
Negara Madinah pada periode Khulafa al-Rasyidin tidak jauh berbeda daripada
zaman Rasulullah.[19]
BAB III
KESIMPULAN
Kehidupan politik pada masa Khulafaur Rasyidin
sistem pemerintahan sudah tetap rapi walaupun tidak langsung seperti sekarang,
tetapi pada masa Khulafaur Rasyidin Dewan dan Departemen sudah bergerak
dibidang masing-masing serta sistem pemerintahan yang dilaksanakan oleh para
Khalifah dari masa jabatan kemasa jabatan memiliki ciri-ciri dan tetap
berpegang teguh kepada al-Qur’an dan Sunnah Rasul serta tetap menjalankan
musyawarah dalam setiap pengambilan keputusan.
Walaupun kepemerintahan disetiap Khalifah di masa
Khulafaur Rasyidin sudah tertata rapi dan mengalami kemajuan dan perkembangan
mulai dari perluwasan wilayah dan perkembangan peradaban islam, kepemerintahan
Khulafaur Rasyidin ini juga mengalami kemunduran pada kepeminpinan masing-masing
mengalami kemunduran itu disebabkan karena adanya beberapa pemberontak dan
kelompok-kelompok yang tidak suka dengan masa pemerintah di tiap-tiap Khalifah,
mulai dari Khalifah Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Wahid dkk, Menjelajahi Peradaban Islam. Pustaka,
2006.
Armstrong, Karen, Islam Sejarah
Singkat,Jendela, Yogyakarta, 2002.
Dedi supriadi. Sejarah Peradaban
Islam. Bandung: 2008.
Fiqih Syasah, Masa Kepemimpinan
Khulafaur Rasyidin, Uin Syarif Hidayatullah.
Http:///masa pemerintahan khulafar
rasyidin.php/google.com
Samsul, Munir Amin, Sejarah
Perkembangan Islam, Jakarta: Amzah, 2009).
Siti Zubaidah, Sejarah Peradaban
Islam, Medan: Perdana Publising, 2016, hal.37
Thaha, Husain, Malapetaka Terbesar dalam Sejarah Islam,
Jakarta: Pustaka Jaya, 1983
Tim menyusun Texbook Sejarah dan
Kebudayaan Islam,
Jakarta:1981/1982.
Zakki, Fu’ad, Sejarah Peradaban Islam Paradigma Teks,
Reflektif, dan Filosofis, Surabaya, Islam Peradaban, 2016
[1] Tsaqifah Bani Saidah
adalah balai pertemuan di madinah seperti Dar al-nadewah dimakalah balai
pertemuan orang Quraisy sudah kebiasaan kaum ansar berkumpul dibalai itu untuk
musyawarah masalah-masalah umum Muhammad Dhiyah Rasyid, hal. 25
[10] Zakki, Fu’ad, Sejarah Peradaban Islam Paradigma Teks,
Reflektif, dan Filosofis, Surabaya, Islam Peradaban, 2016, hal. 46
Tidak ada komentar:
Posting Komentar