Jumat, 25 Oktober 2019

Komponen-komponen Psikologi dalam Perspektif Islam, UIN SUMATERA UTARA

Makalah

KOMPONEN-KOMPONEN PSIKOLOGI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dan diseminarkan pada Mata Kuliah Psikologi Islam







Disusun Oleh :

DTM AYUB AZHARI
3003183056



SEM/PRODI : III – S2 / PENDIDIKAN ISLAM (PEDI-A)


PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUMATERA UTARA
MEDAN
2019


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Komponen-komponen psikologi bermakna konsep-konsep dasar yang merupakan asumsi dasar bagi pembentukan teori psikologi islam. Asumsi-asumsi dasar tersebut di formulasi dari pemahaman yang mendalam terhadap konsep-konsep Al-Quran tentang manusia. sedikitnya ada empat elemen dasar yang dijadikan sebagai pembentukan teori psikologi islam, yakni teori tentang psikis jiwa manusia, teori tentang struktur motivasi, teori tentang struktur pemenuhan kebutuhan manuisa jiwa manusia dan teori tentang struktur kebenaran yang digunakan dalam psikologi islam.
Psikologi islam adalah pandangan islam terhadap ilmu psikologi modern dengan berbagai aspek. Psikologi islam merupakan usaha untuk membangun sebuah teori dari khazanah kepustakaan Islam, baik dari Al-Quran ataupun Hadist.
Maka pada pembahasan dimakalah ini,membahas tentang komponen-komponen psikologi dalam perspektif islam yang didasari dari empat elemen yakni, teori tentang psikis jiwa manusia, teori tentang struktur motivasi, teori tentang struktur pemenuhan kebutuhan manuisa jiwa manusia dan teori tentang struktur kebenaran.
  
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Struktur Pisikis Manusia Menurut Islam
Adapun dalam Islam, karakter dasar penciptaan manusia bukan hanya pada aspek naluriah semata. Di samping itu ia memiliki potensi-potensi positif yang diberikan oleh Allah kepada dirinya guna menyempurnakan kekurangannya, seperti akal dengan daya rasa dan daya pikirnya, fitrah bertuhan, rasa etik, rasa malu, ilham, firasat, kemudian diberikan petunjuk al-Qur’an dan petunjuk Nabi SAW sebagai penyempurnanya. Selain itu, ia juga adalah makhluk yang memiliki iradah (kehendak-kehendak yang mulia), bebas menentukan tingkah lakunya berdasarkan pikiran dan perasaannya. Dengan kelengkapan-kelengkapan yang diberikan Allah ini, ia bisa menjadi makhluk yang sempurna, tidak hanya dikuasai oleh aspek biologisnya. Dengan segala potensi dan kelebihan ini ia pun menjadi makhluk yang memiliki tanggung jawab melestarikan alam, menyejahterakan manusia dan tanggung jawab kepada Tuhan atas segala tingkah lakunya serta kewajiban mencari rida-Nya.[1]
Manusia memiliki dimensi ganda, yaitu jiwa dan raga, atau rohani dan jasmani. Allah SWT menerangkan hal ini dalam firman-Nya:
وَإِذۡ قَالَ رَبُّكَ لِلۡمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّي خَٰلِقُۢ بَشَرٗا مِّن صَلۡصَٰلٖ مِّنۡ حَمَإٖ مَّسۡنُونٖ فَإِذَا سَوَّيۡتُهُۥ وَنَفَخۡتُ فِيهِ مِن رُّوحِي فَقَعُواْ لَهُۥ سَٰجِدِينَ 
Artinya : “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk, Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud” (Q.S al-Hijr: 28-29).[2]
Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah menciptakan fisik atau jasmani manusia dari tanah, kemudian meniupkan roh ciptaan-Nya ke dalam tubuhnya. Subtansi roh (Nafs Tamyiz) bahwa  Kata “tamyiz” dalam bahasa Arab berarti memisahkan dan membedakan antara sesuatu dengan yang lain.[3] Dari makna bahasa ini dapat dipahami bahwa nafs tamyiz berarti, nafs atau roh yang mampu mengidentifikasi atau membedakan antara suatu objek dan objek lainnya melalui potensi-potensi yang merupakan substansi dirinya. Seperti potensi indra untuk membedakan satu entitas dengan entitas lain, dan potensi akal untuk membedakan baik dan buruk, benar-salah, dan lain sebagainya. Lebih lanjut tentang potensi-potensi diri (nafs tamyiz) ini adalah sebagai berikut:
1.      Akal
Secara etimologi, kata akal berasal dari bahasa Arab: ‘aqala, ya‘qilu, ‘aqlan yang berarti mengikat atau menahan dan membedakan.[4] Sementara di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata akal dimaknai dengan daya pikir, pikiran, dan ingatan.[5] Pemaknaan bahasa Arab yang menggunakan kata kerja di atas (mengikat atau menahan dan membedakan) identik dengan kemampuan atau kekuatan mengikat dan membedakan, yang dalam KBBI disebut sebagai daya pikir, bukan pikiran dalam arti obyek yang dipikirkan (mutafakkar fihi) atau buah pikiran (fikrah). Dari pengertian etimilogis ini dapat dipahami bahwa akal merupakan daya yang terdapat dalam diri manusia yang dapat menahan atau mengikat (mengendalikan) pemiliknya dari perbuatan buruk dan jahat, serta untuk membedakan antara yang baik dan buruk. Jika akal bukan pikiran itu sendiri, tetapi kekuatan atau daya berpikir, maka akal lebih tepat jika diistilahkan sebagai substansi yang bisa berpikir.[6]
Ketika melakukan proses berpikir manusia memiliki cara atau mekanisme berpikir, yaitu cara kerja akal itu sendiri, berupa fungsi-fungsi kognitif seperti: mengenal, mengetahui, mengingat, menyadari, berimajinasi, bernalar, berintuisi, dan sebagainya. Sementara buah pikiran adalah hasil yang ditimbulkan dari proses berpikir.[7]
Dengan demikian, kata “akal” memiliki medan makna yang lebih luas. Daya pikir hanyalah satu unsur kelengkapan akal. Kelengkapan lainnya ialah daya rasa. Akal yang lengkap adalah jalinan antara daya pikir dan daya rasa. Dalam menimbang baik dan buruk, benar dan salah, manusia tidak hanya berpikir, tetapi juga merasa.
2.      Indra
Substansi roh lainnya selain akal misalnya adalah indra melihat, mendengar, mengecap, meraba, mencium, dan merasa. Semua itu adalah bagian dari substansi roh. Bukan substansi nafs hayah. Hal ini dapat kita perhatikan ketika seseorang sedang tertidur. Fisiknya tetap hidup, masih bernafas, bahkan masih bisa bergerak walaupun tidak leluasa, tetapi potensi indranya telah hilang. Ia tidak lagi bisa melihat, mendengar, atau berpikir. Nafs tamyiz orang yang tidur telah dicabut, tetapi nafs hayah-nya masih tetap ada. Ini pula yang dialami oleh bayi yang belum berumur empat bulan, hanya baru memiliki substansi nafs hayah, karena roh belum ditiupkan kepadanya. Fisiknya hidup, tetapi belum mempunyai roh, layaknya orang tidur. Nabi SAW mengajarkan kita berdoa setelah bangun tidur: “Segala puji bagi Allah yang telah mengembalikan rohku kepadaku, menyehatkan jasadku dan mengizinkan aku berdzikir kepada-Nya” (HR. Nasai). Hadis ini menunjukkan bahwa ketika tidur, roh manusia meninggalkan jasadnya, tetapi ia masih tetap memiliki hayah (kehidupan).[8]
3.      Tenaga
Tenaga di sini adalah daya yang menjadikan manusia mampu bergerak. Potensi ini adalah bagian dari substansi roh, seperti halnya indra. Manusia bisa saja kehilangan tenaganya seperti pada orang yang lumpuh. Sama halnya dengan seorang yang kehilangan indra penglihatan, pendengaran, penciuman, atau peraba.[9]
4.      Naluri/Insting
Naluri (gharizah) juga bagian dari substansi roh, yang juga dimiliki oleh manusia dan hewan, namun tidak dimiliki oleh tumbuhan. Pada naluri/insting inilah letak syahwat kemaluan dan syahwat perut manusia, karena ia tidak berada di daya pikir ataupun daya rasa. Makan, minum, dan hubungan badan adalah kebutuhan-kebutuhan yang tidak akan terlepas dari manusia dan hewan, keduanya sama-sama memiliki syahwat tersebut. Oleh karena itu, seorang yang daya rasa, daya pikir, dan indranya tidak digunakan untuk mendengarkan dan memikirkan ayat-ayat Allah, tetapi hanya mementingkan naluri syahwatnya, ia dinilai sama derajatnya dengan binatang, bahkan lebih buruk, karena binatang tidak punya akal untuk menilai baik-buruk.[10]
5.      Fitrah
Substansi roh lainnya adalah fitrah. Fitrah perupakan ‘program’ bawaan roh manusia yang menjadikannya selalu merasa bahwa ia adalah makhluk yang diciptakan oleh Tuhan Yang Mahakuasa. Allah menyematkannya di dalam roh sebelum ditiupkan ke dalam rahim ibunya. Allah berfirman: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘Bukankah aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab: “Benar (Engkau Tuhan kami), Kami menjadi saksi” (QS. al-A`raf: 172). Persaksian ini bukanlah sesuatu yang diingat oleh akal, tetapi sesuatu yang dirasakan oleh jiwa. Oleh karena itu, bagaimanapun ateis-nya seorang manusia, ketika ia dalam kondisi darurat yang mengancam jiwanya maka dimensi roh ini akan tampil pada dirinya. Al-Qur’an mengibaratkan dengan seorang yang terombang-ambing oleh badai di tengah samudra (QS. Yunus: 22). Atau seperti seorang yang naik pesawat, lalu pesawatnya mengalami gangguan teknis dan hendak jatuh. Saat-saat genting seperti itu pasti akan memunculkan dimensi roh ini, sehingga ia akan berteriak: “Ya Tuhanku, selamatkanlah aku”.[11]
B.     Struktur Motivasi Menurut Islam
Dalam khazanah ilmu pengetahuan Islam, ada definisi yang dikemukakan oleh pakar ilmu jiwa, bahwa motivasi adalah dorongan atau keinginan psikologis atau kejiwaan yang ada pada diri seseorang, keinginan ini mempengaruhi perilaku pada keadaan khusus untuk memenuhi apa yang dihajatkannya, keinginan ini berupa desakan-desakan atau dorongan-dorongan atau kecondongan hati untuk melakukan sesuatu.[12]
            Gejala sosial dan individu yang dicermati dalam sebuah sistem sosial atau organisasi melahirkan sebuah studi tentang perilaku organisasi. Bila dilihat dari perspektif ini, peran lingkungan dalam mengkondusifkan organisasi menjadi penting untuk dirumuskan sebagai sebuah mekanisme organisasi yang sistematis. Dalam pemahaman seperti inilah Imam Al Ghazali memandang bagaimana motivasi seseorang muncul sehingga mampu meningkatkan prestasi kerjanya. Perspektif Al Ghazali dalam motivasi didasarkan pada bukunya Ihya Ulumuddin, khususnya dalam rubu (bagian) khauf wa raja’ (takut dan harap). Menurut Al Ghazali, konsep motivasi adalah perasaan takut dan harap sebagai sarana pendakian untuk mendekatkan diri kepada Allah menuju setiap peringkat yang terpuji.[13]
Harap dan takut ini bagi Al Ghazali memiliki dua manfaat yaitu (1) sebagai daya dorong untuk melakukan perjalanan dan perkembangan mental spiritual sehingga memiliki prestasi yang terpuji, (2) menjadi kontrol atau pisau kritis terhadap perjalanan spiritual atau mental. Implikasinya, yang mendorong kita untuk maju adalah adanya rasa harap dan yang menahan kita untuk melakukan perbuatan yang tidak produktif adalah rasa takut. Di sinilah tampak urgensi peran khauf dan raja‟ sebagai motif dasar menusia dalam menggerakkan perilaku manusia di muka bumi[14]


Sumber: Al-Kaysi, 1998: 106
Menurut Al Kaysi-seorang Associates Professor dari Universitas Yarmouk, Yordania, perasaan takut dan harap kepada Allah itu termasuk motivasi dari dalam diri manusia. Pandangan Al Kaysi sendiri terhadap motivasi dalam Islam adalah sebagaimana dalam Gambar di atas.
Maka dapat disimpulkan bahwa motivasi manusia terbagi kedalam dua bagian. Dorongan dari luar diri manusia, berupa adanya surga di akhirat, adanya taufik di dunia, perasaan ingin selamat dari api neraka dan musibah. Dorongan ini dicapai dengan melaksanakan banyak kebaikan dan mengurangi keburukan/kejahatan. Sedangkan motivasi dari dalam diri manusia dapat berupa cinta kepada Allah, takut kepada Allah, mengharap kepadaNya, dan malu kepada-Nya.
C.    Struktur Pemenuhan Kebutuhan Manusia Menurut Islam
Menurut Islam, yaitu senantiasa mengaitkannya dengan tujuan utama manusia diciptakan yaitu ibadah. Untuk memenuhi kebutuhan ini, maka Allah menghiasi manusia dengan hawa nafsu (syahwat), dengan adanya hawa nafsu ini maka muncullah keinginan dalam diri manusia.
1.      Dharuriyat (Primer)
     Menurut al-Syathibi, Dharuriyat (primer) adalah kebutuhan paling utama dan paling penting. Kebutuhan ini harus terpenuhi agar manusia dapat hidup layak. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi hidup manusia akan terancam didunia maupun akhirat. Kebutuhan ini meliputi, khifdu din (menjaga agama), khifdu nafs (menjaga kehidupan), khifdu ‘aql (menjaga akal), khifdu nasl (menjaga keturunan), dan khifdu mal (menjaga harta). Untuk menjaga kelima unsur tersebut maka syari‟at Islam diturunkan. Sesuai dengan firman Allah SWT, dalam QS. Al-Baqarah:179 dan 193.
وَلَكُمۡ فِي ٱلۡقِصَاصِ حَيَوٰةٞ يَٰٓأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ 
Artinya :”Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa” (Q.S al-Baqarah: 179).

وَقَٰتِلُوهُمۡ حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتۡنَةٞ وَيَكُونَ ٱلدِّينُ لِلَّهِۖ فَإِنِ ٱنتَهَوۡاْ فَلَا عُدۡوَٰنَ إِلَّا عَلَى ٱلظَّٰلِمِينَ 
Artinya:”Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zali”. (Q.S al-Baqarah: 193).[15]
     Maka dapat disimpulkan dari penjelasan di atas bawah tujuan yang bersifat dharuri adalah tujuan utama untuk pencapaiaan kehidupan yang abadi bagi manusia Lima kebutuhan dharuriyah tersebut harus dapat terpenuhi, apabila salah satu kebutuhan tersebut diabaikan akan terjadi ketimpangan atau mengancam keselamatan umat manusia baik didunia maupun diakhirat kelak. Manusia akan hidup bahagia apabila ke lima unsur tersebut dapat dilaksanakan dengan baik.
2.      Hajiyat (Skunder)
Kebutuhan ini maksudnya untuk memudahkan, menghilangkan kesulitan atau menjadikan pemeliharaan yang lebih baik terhadap lima unsur pokok kehidupan manusia. Pada dasarnya jenjang hajiyah ini merupakan pelengkap yang mengokohkan, menguatkan, dan melindungi jenjang dharuriyyah. Atau lebih spesifiknya lagi bertujuan untuk memudahkan atau menghilangkan kesulitan manusia di dunia.[16]
3.      Tahsiniyat (Tersier)
Kebutuhan tahsiniyah adalah kebutuhan yang tidak mengancam kelima hal pokok yaitu khifdu din (menjaga agama), khifdu nafs (menjaga kehidupan), khifdu „aql (menjaga akal), khifdu nasl (menjaga keturunan), serta khifdu maal (menjaga harta) serta tidak menimbulkan kesulitan umat manusia. Kebutuhan ini muncul setelah kebutuhan dharuriyah dan kebutuhan hajiyat terpenuhi, kebutuhan ini merupakan kebutuhan pelengkap.[17]
D.    Struktur Kebenaran Menurut Islam
1.      Hakekat Kebenaran
Kata " kebenaran dapat digunakan sebagai suatau kata yang konkret maupun abstrk. Jika subjek hendak mengatakan kebenaran artinya adalah beposisi yang benar. Namun apabila menyatakan kebenran bahwa proposisi yang diuji itu pasti memiliki kualitas, sifat atau karakteristik, hubungan dan nilai. Hal yang demikian itu karena kebenaran tidak dapat begitu saja terlepas dari kualitas, sifat dan hubungan nilai itu sendiri.[18]

2.      Sifat-sifat kebenaran
a.       Deskriptif
Sifat ini terdapat dalam pernyataan proposisi atau keyakinan yang mana (a) bersifat mesti, yakni secara analisis ia benar. Misalkan jika pmenyiratkan q, dan p adalah kasus, maka q juga kasus. Atau (b) bersifat kemungkinan, yakni secara empiris ia benar. Misalkan “ bumi itu bulat “ kebenaran berfungsi sebagai kata sifat, seperti mkeyakinan yang benar.
b.      Instrumental
Sifat ini terdapat dalam suatu keyakinan yang menjadi pembimbing bagi pemikiran dan tindakan untuk meraih kesuksesan. Misal : Bertindak dengan keyuakinan bahwa sifat api itu membakar dan dapat mencegah seseorang dari kebakaran. Kebakaran di sini berfungsi sebagai kata keterangan , yakni seseorang mempunyai keyakinan dengan benar bahwasanya dia dapat mencegah kebakaran.
c.       Substansif
Sifat ini didasarkan pada kenyataan misalkan “ Tuhan adalah kebenaran” jadi kebenaran di sini berfungsi sebagai kata benda.
d.      Eksistensial
Sifat ini didasarkan pada salah satu jalan hidup atau komitmen puncak seseorang misalkan “Hidup lebih baik dari pada sekedar mengetahui kebenaran” kebenaran berfungsi sebagai kata kerja.[19]

3.      Kebenaran menurut Islam
Menurut konsep islam bahwa keadilan tidak sama dengan sikap netral, sebab keadilan itu adalah berpihak pada kebenaran. Sedang masalahnya adalah bagaimana seseorang itu dapat berpihak pada kebenaran jika kebenaran itu masih diragukan.
Dalam islam kebenaran substabsial dan esensial ayat-ayat al Quran bersifat deterministik, namun kebenaran tafsiran dan pemakaian bersifat indetermantik yaitu dapat dikembangkan secara luas dan terus-menerus. Bagi manusia disediakan kawasan indhetermunistik yaitu kawasan untuk menjangkau kebenaran empiric sensual, kebenaran empiric logis, kebanaran empiric etik, kebenaran empiric mu'amalah terhadap manusia. Dalam Islam kebenaran hanya satu, bila dikaitkan dengan kebenaran disisi Allah. Akan tetapi bila dikaitkan dengan interprestasi yang dilakukan manusia dalam mencari kebenaran tersebut, maka akhirnya akan melahirkan perbedaan dan pertentangan. Misalkan 2 = 2 = 4, 2 +2 = 6 Teori ini mudah diterima, tetapi bila persoalannya manyangkut interprestasi atas ajaran agama, maka persoalannya menjadi berbeda sama sekali. Al Qur'an menguraikan berbagai persoalan hidup dan kehidupan, antara lain menyangkut alam raya dan fenomenanya. Uraian sekitar persoalan tersebut sering disebut aat kauniyah. Tidak kurang dari 450 ayat yang menguraikan hal tersebut.[20]


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dapat disimpulkan dari penjelasan di atas tentang masuk dan berkembangnya ide-ide pembaruan pemikiran islam di indonesia pada  awal abad ke xx. Diantaraya sebagai berkut :
1.      Struktur fsikis di dalam diri manusia terdiri dari akal dengan daya rasa dan daya pikirnya, fitrah bertuhan, rasa etik, rasa malu, ilham, firasat, kemudian diberikan petunjuk al-Qur’an dan petunjuk Nabi SAW sebagai penyempurnanya.
2.      Motivasi adalah dorongan atau keinginan psikologis atau kejiwaan yang ada pada diri seseorang, keinginan ini mempengaruhi perilaku pada keadaan khusus untuk memenuhi apa yang dihajatkannya, keinginan ini berupa desakan-desakan atau dorongan-dorongan atau kecondongan hati untuk melakukan sesuatu.
3.      Manusia diciptakan ke dunia untuk memenuhi kebutuhan, kebutuhan tersebut ialah senantiasa mengaitkannya dengan tujuan utama manusia diciptakan yaitu ibadah.
4.      kebenaran dapat digunakan sebagai suatau kata yang konkret maupun abstrk. Jika subjek hendak mengatakan kebenaran artinya adalah beposisi yang benar. Namun apabila menyatakan kebenran bahwa proposisi yang diuji itu pasti memiliki kualitas, sifat atau karakteristik, hubungan dan nilai.



DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakr al-Razi, Mukhtar al-Sihah, (Beirut: al-Maktabah al-‘Asriyyah, 1999)

Al Ghazali. Iman Abu Muhammad bin Muhammad, 2007. Ihya „Ulumuddin. Penerjemah: Ahmad Rofi‟ Usmani

Al Kaysi, Marwan Ibrahim, 1998. Ad Daafi‟iyatu al Nafsiyatu fi al‟Aqidatu al Islamiyahal Majalah Jami‟atu al Maliku Sa‟udi (10), (Al „Ulum al Tarbiyatu wa Darasatu al Islamiyah, 1, pp)

Baharuddin, Paradigma Psikologi Islam, (Yogyakarta: Pustakan Pelajar, Cet. 2, 2007),

Darmawan. Cecep, 2006. Kiat Sukses Manajemen Rasulullah: Manajemen Sumber Daya Insani Berbasis Nilai-Nilai Ilahiyahal (Bandung: Penerbit Khazanah Intelektual).

Drs.H.Fathul Mufid M.Si, Buku Daros ( Filsafat Ilmu Islam ), STAIN Kudus, 2008

H.M. Rasjidi dan Harifuddin Cawidu, Islam untuk Disiplin Ilmu Filsafat, (Jakarta: CV. Kuning Mas, 1984),

Ibnu Taimiyyah, Majmu‘Fataw’a, Jil. IV, Abdurrahman ibn Muhammad ibn Qasim (Ed.), (Madinah: Majma‘ Malik Fahd, 1995)

Ika Yunia Fauzia, dkk, Prinsip Dasar Ekonomi Islam, (Sidoarjo: Kencana, 2014)

Karim, Adiwarman, Sejarah Pemikiran Ekonomi edisi kedua,(Jakarta: Grafindo Persada, 2004)

Lalu Hari Afrizal, Psikonalisa Islam, Menggali Struktur Pisikis Manusia dalam Perspektif Islam, (Jurnal Kalima: Vol. 12, No. 2, September 2014)

Majma‘ al-Lughah al-‘Arabiyyah, Al-Mu‘jam al-Wasit, Jil. II, (Kairo: Daral-Da‘wah),

Milton D Hunnex, Peta Filsafat, Teraju, (Jakarta, 2004)

Pusat Bahasa Departeman Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: 2008),

Syaamil Qur’an, al-Qur’an dan Terjemahan,(Q.S al-Hirj15: 28-29: Cordova)

Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu, Liberty, (Yogyakarta, 1996),





[1] Baharuddin, Paradigma Psikologi Islam, (Yogyakarta: Pustakan Pelajar, Cet. 2, 2007),15
[2] Syaamil Qur’an, al-Qur’an dan Terjemahan,(Q.S al-Hirj {15}: 28-29: Cordova), Tipe CA.1
[3]Abu Bakr al-Razi, Mukhta>r al-S{ih}a>h}, (Beirut: al-Maktabah al-‘As}riyyah, 1999),301.
[4] Majma‘ al-Lughah al-‘Arabiyyah, Al-Mu‘jam al-Wasit, Jil. II, (Kairo: Dar> al-Da‘wah), 616.
[5] Pusat Bahasa Departeman Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: 2008), 25.
[6] H.M. Rasjidi dan Harifuddin Cawidu, Islam untuk Disiplin Ilmu Filsafat, (Jakarta: CV. Kuning Mas, 1984),6
[7] Ibnu Taimiyyah, Majmu‘Fatawa, Jil. IV, Abdurrahman ibn Muhammad ibn Qasim (Ed.), (Madinah: Majma‘ Malik Fahd, 1995), 537.
[8] Lalu Hari Afrizal, Psikonalisa Islam, Menggali Struktur Pisikis Manusia dalam Perspektif Islam, (Jurnal Kalimah: Vol. 12, No. 2, September 2014), hal.255
[9] Ibid,hal. 256
[10] Ibid,hal. 256
[11] Ibid. hal. 256
[12] Al Kaysi, Marwan Ibrahim, 1998. Ad Daafi‟iyatu al Nafsiyatu fi al‟Aqidatu al Islamiyahal Majalah Jami‟atu al Maliku Sa‟udi (10), (Al „Ulum al Tarbiyatu wa Darasatu al Islamiyah, 1, pp). hal. 91.
[13] Al Ghazali. Iman Abu Muhammad bin Muhammad, 2007. Ihya „Ulumuddin. Penerjemah: Ahmad Rofi‟ Usmani,(Bandung: Penerbit Pustaka). Hal. 257
[14] Darmawan. Cecep, 2006. Kiat Sukses Manajemen Rasulullah: Manajemen Sumber Daya Insani Berbasis Nilai-Nilai Ilahiyahal (Bandung: Penerbit Khazanah Intelektual). Hal. 57
[15]  Syaamil Qur’an, al-Qur’an dan Terjemahan,… al-Baqarah : 179-193
[16]  Ika Yunia Fauzia, dkk, Prinsip Dasar Ekonomi Islam, (Sidoarjo: Kencana, 2014) , hal. 68.
[17] A.Karim, Adiwarman, Sejarah Pemikiran Ekonomi edisi kedua,(Jakarta: Grafindo Persada, 2004), hal.67
[18] Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu, Liberty, (Yogyakarta, 1996), hal 11
[19] Milton D Hunnex, Peta Filsafat, Teraju, (Jakarta, 2004), hal 18
[20] Drs.H.Fathul Mufid M.Si, Buku Daros ( Filsafat Ilmu Islam ), STAIN Kudus, 2008, hal.111

MASUK DAN BERKEMBANGNYA IDE-IDE PEMBARUAN PEMIKIRAN ISLAM DI INDONESIA PADA AWAL ABAD KE XX, UIN SUMATERA ITARA

Makalah
MASUK DAN BERKEMBANGNYA IDE-IDE PEMBARUAN PEMIKIRAN ISLAM DI INDONESIA PADA  AWAL ABAD
KE XX
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dan diseminarkan pada Mata Kuliah Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia




  

Disusun Oleh :

DTM AYUB AZHARI
3003183056



SEM/PRODI : III – S2 / PENDIDIKAN ISLAM (PEDI-A)


PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUMATERA UTARA
MEDAN
2019



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Sejarah pembaharuan pemikiran di dunia Islam (Arab, Mesir, India, Turki, Iran, Syria dan Tunisia) telah bergulir sejak abad 18 atau awal abad 19. Di tanah Arab ditandai dengan gerakan Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab dengan semangat pemurnian akidahnya. Gerakan pemurnian ini merupakan respon ‘Abd al-Wahhab terhadap realitas umat Islam yang menurutnya bertentangan dengan Islam yang pahaminya.
Pembaruan Pemikiran Islam yang menggema diberbagai dunia islam seperti Mesir, Turki dan India akhirnya pada awal abad ke-20 sampai juga ke Indonesia, dibawa oleh para pelajar yang pulang kembali keindonesia membawa pemikiran-pimikiran baru, salah satu diantara pemikiran-pemikiran baru itu adalah dalam bidang pendidikan.
Maka pada pembahasan dimakalah ini,membahas tentang masuk dan berkembangnya ide-ide pembaruan pemikiran islam di indonesia pada  awal abad ke xx yang sub poin pembahasan adalah, Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, Pendekatan Pembaruan Pemikiran Islam, Ciri-ciri Pendidikan Islam pada Masa Pembaruan.





BAB II
PEMBAHASAN
MASUK DAN BERKEMBANGNYA IDE-IDE PEMBARUAN PEMIKIRAN ISLAM DI INDONESIA PADA  AWAL ABAD KE XX

A.    Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia
Kontinuitas pembaharuan pemikiran berbagai aspek oleh pemikir dari berbagai latar belakang berbeda dalam Islam adalah sebuah keniscayaan yang tidak boleh ada tawar menawar, harga mati. Segala upaya untuk menggagalkannya dapat dianggap sebagai tindakan yang merusak makna hakiki kehadiran Islam sebagai agama rahmat li al-‘âlamîn ini. Ada fakta bahwa sebagian besar masyarakat Muslim berpendidikan rendah adalah kelompok yang sangat rentan menjadi korban dari arus negatif globalisasi. Bagi umat Islam yang masih mementingkan agama sebagai pedoman utama dalam hidupnya, globalisasi bisa menjadi batu ujian yang sangat berat. Karena, melalui arus globalisasi bisa mengalir berbagai budaya yang bisa bertentangan dengan nilai-nilai agama.[1]
Fakta lain adalah legasi sejarah bahwa pada kurun tertentu dari perjalanan sejarah Islam, umat Islam hanyut dalam taklid halal-haram oriented, ketimbang aspek pengembangan pemikiran. Setiap ada persoalan yang muncul masyarakat Islam, dibiasakan merespons dengan melihat apa hukumnya, apakah halal atau haram. Bukan pertanyaan seperti mengapa dilakukan seperti yang dilihat, bukan dengan cara lain yang lebih progresif. Adanya periode tertentu dari sejarah Islam yang terlalu menekankan fiqih sebagai jawaban terhadap sebagian besar aspek kehidupan, telah memformat cara pikir umat Islam seperti itu. Di samping itu, tentu saja anggapan pintu ijtihad telah ditutup dan kampanye anti bid’ah adalah factor lain yang tidak boleh dianggap kecil tanggungjawabnya terhadap petaka ketertinggalan Islam dari peradaban lain atau mungkin lebih tepat ketertinggalan Muslim dari nilai-nilai Islami dalam kehidupannya. Kembali mewabahnya gerakan anti pembaharuan di berbagai negara Islam, baik melalui lembaga pendidikan maupun kegiatan-kegiatan dakwah lainnya, jika tidak diimbangi oleh adanya keberanian untuk mengimbanginya, akan bias berdampak besar bagi kelesuan kemandulan pemikiran dalam Islam. Lambat laun di suatu masa yang akan datang akan bisa memunculkan adanya generasi yang pemikirannya diamputasi, sebagaimana pengalaman sejarah pasca munculnya pendapat bahwa pintu ijtihad telah tertutup.[2]
Maka pertanyaannya, apa saja yang harus di perbaharuin ? tentang pembaharuan pemikiran islam di Negara-negara yang notabenenya berindentiraskan islam agar terbangunkan pola pikir yang berwawasan dan berilmu pengetahuan. Di sinilah sebenarnya, letak batu sandung besar penghambat gerakan pembaharuan pemikiran di dunia Islam, khususnya di Indonesia dewasa ini.
Sejarah pembaharuan pemikiran di dunia Islam (Arab, Mesir, India, Turki, Iran, Indonesia, Syria dan Tunisia) telah bergulir sejak abad 18 atau awal abad 19. Di tanah Arab ditandai dengan gerakan Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab dengan semangat pemurnian akidahnya. Gerakan pemurnian ini merupakan respon ‘Abd al-Wahhab terhadap realitas umat Islam yang menurutnya bertentangan dengan Islam yang pahaminya.[3]
Pembaruan Pemikiran Islam yang menggema diberbagai dunia islam seperti Mesir, Turki dan India akhirnya pada awal abad ke-20 sampai juga ke Indonesia, dibawa oleh para pelajar yang pulang kembali keindonesia membawa pemikiran-pimikiran baru, salah satu diantara pemikiran-pemikiran baru itu adalah dalam bidang pendidikan.[4]
Di Indonesia, pembaharuan Islam secara kelembagaan atau organisasi keagamaan sudah dimulai sejak pergantian abad 20 ke abad 21 yang lalu. Salah satu organisasi yang paling berjasa dalam hal ini adalah Muhammadiyah yang didirikan pada tahun 1912 oleh KH. Ahmad Dahlan. Muhammadiyah memulai pembaharuannya dengan mendirikan sekolah-sekolah. Tetapi perkembangan terakhir menunjukkan bahwa peran pemikir muda Muhammadiyah telah memberikan kontribusi yang amat besar bagi pembaharuan pemikiran di Indonesia.[5]. Adapun pekembangan pemikiran islam di Indonesia yang melahirkan lembaga pendidikan seperti madrasah.
1.      Pembaharuan pendidikan islam di Indonesia
Modernisasi pendidikan Islam Indonesia masa awalnya dikenalkan oleh bangsa kolonial Belanda pada awal abad ke-19. Program yang dilaksanakan oleh kolonial Belanda dengan mendirikan Volkshoolen, sekolah rakyat, atau sekolah desa ( Nagari) dengan masa belajar selama 3 tahun, di beberapa tempat di Indonesia sejak dasawarsa 1870-an. Pada tahun 1871 terdapat 263 sekolah dasar semacam itu dengan siswa sekitar 16.606 orang; dan menjelang 1892 meningkat menjadi 515 sekolah dengan sekitar 52.685 murid.
Sistem Pendidikan Islam pada mulanya diadakan di surau-surau dengan tidak berkelas-kelas dan tiada pula memakai bangku, meja, dan papan tulis, hanya duduk bersela saja. Kemudian mulialah perubahan sedikit demi sedikit sampai sekarang. Pendidikan Islam yang mula-mula berkelas dan memakai bangku, meja dan papan tulis, ialah Sekolah Adabiah ( Adabiah School) di Padang.[6]
Adabiah School merupakan madrasah (sekolah agama) yang pertama di Minangkabau, bahkan diseluruh Indonesia. Madrasah Adabiah didirikan oleh Almarhum Syekh Abdullah Ahmad pada tahun 1909. Adabiah hidup sebagai madrasah sampai tahun 1914, kemudian diubah menjadi H.I.S. Adabiah pada tahun 1915 di Minangkabau yang pertama memasukkan pelajaran Agama dalam rencana pelajarannya. Sekarang Adabiah telah menjadi sekolah Rakyat dan SMP.
Setelah berdirinya madrasah Adabiah, maka selanjutnya diikuti madrasah lainnya seperti madras Schol di Sungyang (daerah Batusangkar) oleh Syekh M.Thaib tahun 1910 M, Diniah School (madrasah diniah) oleh Zainuddin Labai Al-Junusi di Padangpanjang tahun 1915.
2.      Pembaharuan Pendidikan Islam terhadap Modernisasi Madrasah di Indonesia.
Pada awal abad ke-20, pendidikan Islam di Indonesia mengalami babak baru dalam sejarah, yaitu masa pembaharuan. Pembaharuan dalam pendidikan Islam adalah salah satu jawaban terhadap kekuasaan dan dominasi Eropa. Respon pendidikan berupa penolakan, adaptasi, ataupun sampai kepada akulturasi dan pembaharuan, dengan akibatnya masing-masing. Setelah diketahui sistem pendidikan, maka dapat dicermati beberapa perubahan yang terjadi, antara lain pada:[7]
a.       Tujuan dan Materi
Tujuan pendidikan Islam tentu harus sesuai dengan apa yang dikandung dalam Al-Qur’an dan Hadits. Tujuan dari berdirinya lembaga-lembaga pendidikan Islam (khususnya keluarga dan pesantren) berorientasi pada pendidikan agama. Tujuannya mengacu pada pembentukan manusia yang sempurna dimana seorang muslim adalah memiliki akhlak mulia, sehat jasmani dan rohani.
Sebelum Belanda mengembangkan sistem pendidikan Baratnya, pendidikan Islam yang ada hanyalah mengembangkan tujuan keagamaan. Setelah pendidikan Belanda berdiri, mau tidak mau para pelaku pendidikan Islam berpikir ulang agar sistem yang dikembangkan tetap diminati masyarakat. maka sistem pendidikan Islam mulai terbuka dengan memasukkan pelajaran-pelajaran umum ke dalam kurikulumnya.[8] Hal ini dilakukan agar pesantren tidak “ketinggalan jaman” tanpa mengubah orientasi atau landasan dasarnya.
Seperti misalnya pesantren Mambaul Ulum di Surakarta, kurikulumnya berubah dengan dimasukkannya pelajaran membaca huruf Latin, aljabar dan berhitung.   
Akhirnya muncul dua macam pesantren, yaitu pesantren salafi yang masih mempertahankan kurikulumnya, dan pesantren khalafi yang telah memasukkan pelajaran umum.[9]   
Perubahan tersebut juga ditandai dengan munculnya lembaga madrasah dan sekolah. Munculnya madrasah di Indonesia merupakan salah satu wujud respon terhadap kebijakan pemerintah Hindia Belanda di Indonesia.   Madrasah muncul setelah sisten pendidikan Belanda hadir, yaitu yang pertama kali berdiri pada tahun 1909 (Adabiyah School), atau dapat dikatakan, madrasah dari tidak ada menjadi ada. Keberadaannya menjadi salah satu upaya untuk menjembatani antara sistem pendidikan. tradisional yang dilakukan oleh pesantren dan sistem pendidikan modern dari hasil akulturasi.   Pola dan variasi madrasah tidak akan keluar dari tiga format dasar: madrasah yang menyerupai sekolah Belanda, madrasah yang menggabungkan secara lebih seimbang antara muatan-muatan keagamaan dan non-keagamaan, dan madrasah yang lebih menekankan pada muatan-muatan keagamaan dan menambahkan muatan-muatan umum secara terbatas.[10]
b.      Metode dan Sarana
Dalam perubahan metode dan sarana dalah penyesuaian terhadap materi berdasar tujuannya. Pengajaran pada madrasah ataupun sekolah memakai sistem klasikal, dimana ada pengelompokan siswa dalam kelas-kelas. Pesantren Tebu Ireng, dengan mendirikan madrasah salafiyah merupakan modernisasi. Selain diajarkan pengetahuan umum, madrasah tersebut memakai sistem klasikal dengan perjenjangan: madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Mu’allimin. Sarana yang ada di pesantren berupa pondok, bangku yang digunakan untuk meletakkan kitab.
Madrasah diorganisasikan berdasarkan sistem klasikal atau madrasi, dimana murid dipisah-pisahkan dalam beberapa tingkatan, persis seperti yang dilakukan organisasi pendidikan umum dalam sistem pendidikan nasional.  Dalam  sistem  madrasi,  pelajaran-pelajaran  dikelompokkan  dan penyampaiannya diberikan secara bertingkat-tingkat dengan memperhitungkan rentang waktu yang dibutuhkan.
Lembaga pendidikan sekolah cenderung meniru pola yang diterapkan oleh Belanda. Pada sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh organisasi Muhammadiyah, pengorganisasiannya menyerupai sekolah-sekolah Belanda. Muhammadiyah membagi sekolahnya mirip dengan sekolah-sekolah Belanda: HIS Muhammadiyah, MULO, AMS Muhamadiyah.   
Dengan adanya kelas-kelas tersebut, tentunya ada gedung-gedung sekolah dengan kelas-kelas khusus. Dimana tiap kelas terdapat papan tulis, bangku-bangku, dan kursi. Jadi, sistem penyampaiannya tidak secara individual seperti pada model sorogan di pesantren, tetapi lebih cenderung berkelompok dimana satu guru menyampaikan materi dan semua siswa mendengarkan.[11]
c.       Evaluasi
Dari evaluasi yang telah dipaparkan pada masing-masing lembaga pendidikan, dapat disimpulkan tentang perubahannya. Pada mulanya pesantren berorientasi ukhrawi, mengukur keberhasilan lembaganya jika mampu menghasilkan santri yang taat, berakhlak mulia tanpa berharap berprofesi dalam jabatan tertentu. Pada lulusan pesantren dengan ikhlas kembali ke masyarakat dan tidak mengharapkan jabatan tertentu yang bersifat keduaniawian. Dengan kata lain, para santri dididik untuk sukses hidup di akhirat. Ijazah seperti halnya yang diberikan oleh sekolah-sekolah Belanda tidak dikenal. Mereka hanya mengenal ijazah sebagai tanda seberapa kualitas ilmu agama yang didapatkan dari para guru/kyainya, sementara sekolah-sekolah Belanda didirikan untuk melatih warga negara Indonesia bagi pemenuhan (salah satunya) profesi Pamong Praja.   Perubahan keinginan bangsa Indonesia terlihat dengan adanya madrasah, yang eksistensinya merupakan usaha menyempurnakan terhadap sistem pesantren ke arah suatu sistem yang lebih memungkinkan lulusan-lulusannya memperoleh kesempatan yang sama dengan sekolah umum yaitu kesamaan kesempatan kerja dan perolehan ijazah.  
Di dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri, ditetapkan: ijazah madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan nilai ijazah sekolah umum yang setingkat, lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat lebih atas, dan siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat. Di sini bisa disimpulkan bahwa penilaian keberhasilan pendidikan yang ada awalnya hanya keakhiratan, kemudian meluas ke keduniawian.[12]
B.     Pendekatan Pembaruan Pemikiran Islam
Pendekatan dalam pembaruan pemikiran islam itu melalui berdiskusi dan Berdebat, jika pembaruan pemikiran islam menggunakn pendekatan diskusi, maka diskusi dapat di-follow-up sampai sebuah gagasan dapat menciptakan perubahan sosial lebih luas. Diskusi bisa bermuara pada kesepakatan atau kesaling mengertian antara peserta diskusi. Meskipun tidak harus selalu terjadi kesepakatan. Sebaliknya, debat hampir selalu bermuara pada upaya mempertahankan diri atau apoligistik, ketimbang melihat kebenaran sebuah pemikiran. Pihak yang kalah dan lemah argumen dalam sebuah diskusi bisa saja bergabung dan mendukung argumen yang lebih unggul dan rasional. Sebaliknya, dalam sebuah debat, pihak yang menang bisa mengeliminasi pihak yang kalah sampai pada pengambil-alihan keberpihakan audiens yang tadinya lebih banyak berlaku pasif. Dalam sebuah perdebatan, pada umumnya yang lebih jernih mengambil kesimpulan adalah pendengar. Sedangkan dalam diskusi, baik partner diskusi maupun pendengar sama-sama bisa mengambil kesimpulan yang jernih. Di samping itu, dalam sebuah debat yang dicari adalah keunggulan sepihak untuk mengalah pihak lain yang bermuara pada ujung yang berbeda. Sedangkan dalam sebuah diskusi, fokus utama adalah mencari titik temu. Meskipun ada kalanya titik temu itu sendiri adalah kesepakatan untuk berbeda pendapat.[13]
Ciri lain dari debat adalah mempunyai keterbatasan waktu apabila sudah ada pihak yang lebih unggul atau memang masing-masing sepakat untuk mengakhiri. Sedang diskusi bisa saja menjadi sebuah serial yang berkembang sesuai dengan kondisi yang diciptakan. Dalam sebuah debat, audiens lebih banyak sebagai pendengar pasif yang bisa terpengaruh untuk mengambil sikap meskipun isu yang diperdebatkan bisa saja merupakan kepentingan mereka. Sedangkan dalam sebuah diskusi, audiens bisa terlihat secara aktif baik topik yang didiskusikan bersentuhan langsung dengan kepentingan mereka atau tidak. Salah satu etika diskusi adalah mengakui keunggulan argumen partner dikusi, apabila didukung oleh argumen dan fakta yang kuat. Hal ini jarang terjadi dalam sebuah perdebatan. Fenomena debat antara pengusung pembaharuan Islam dan penolaknya dalam wacana pembaharuan pemikiran di Indonesia kelihatannya diilhami oleh apa yang terjadi di sebagian besar negara Barat yang sekarang sekuler ketika mereka dulu mengalahkan argumen Gereja yang menguasai ruang publik. Apa yang terjadi di dunia Barat yang dapat disaksikan pada hari ini adalah marginalisasi agama dari ruang publik, sampai akhirnya ruang publik hanya diisi oleh sekularisme murni. Agama menjadi sesuatu yang aneh yang seharusnya perlu masuk penangkalan, namun didesak sedemikian rupa, sehingga harus mencari tempat keluar dari wilayahnya.[14]
 Jika sebagian besar pendekatan yang digunakan debat disebabkan oleh pengaruh tertentu, baik apa yang terjadi antara pihak Gereja dan sekularis di Barat maupun pengaruh pendekatan Timur Tengah masih dapat ditolerir, maka sebagian dari pendekatan yang digunakan di Indonesia tidak jauh beda dari UFC (Ultimate Fighting Championship) yang sering bermuara pada kuncian mati, sehingga pihak yang kalah bertekuk lutut sampai tidak bisa berbuat apa-apa dalam sebuah forum. Padahal seharusnya, tidak ada istilah menang mutlak dalam sebuah pertarungan pemikiran. Karena, kebenaran pemikiran bersifat relative yang sangat tergantung pada situasi ruang dan waktu. Stagnasi gerakan pemikiran beberapa tahun terakhir ini bisa dilihat dalam konteks ini, ketika gerakan yang berlawanan mendapat applous yang semakin kuat dan tempat yang semakin luas dalam masyarakat. Jika gerakan pembaharuan pemikiran mendapat giliran ketika vendulum sejarah lebih mendekatinya suatu saat nanti, maka tidak tertutup kemungkinan apa yang dilakukan oleh penentang pembaharuan ini menjadi watak gerakan pembaharuan juga.[15]
C.    Ciri-ciri Pendidikan Islam pada Masa Pembaruan
Ada beberapa indikasi Pendidikan Islam sebelum dimasuki ole hide-ide pambaruan:
1.      Pendidikan yang bersifat nonklasikal. Pendidikan ini tidakdibatasi atau ditentuan lamanya belajar seseorang berdasarkan tahun. Jadi seseorang bisa tinggal disuatu pesantren, satu tahun, atau dua tahun, atau boleh jadi beberapa bulan saja, bahkan mungkin juga belasan tahun.
2.      Mata pelajaran adalah semata-mata pelajaran agama yang bersumber dari kitab-kitab klasik. Tidak ada diajarkan mata pelajaran umum.
3.      Metode yang digunakan adalah metode sorogan, wetonan, hafalan, dan muzakarah.
4.      Tidakmementingkan ijazah sebagaibukti yang bersangkutan telah menyelesaikan atau menamatkan pelajaran.
5.      Tradisi kehidupan pesantren amat dominan dikalangan santri dan kiai. Ciri tradisi itu adalah antara lain kentalnya hubungan antara kiai dan santri. Hubungan batin ini berlangsung terus sepanjang masa. Kontak-kontak pribadi itulah yang terpelihara sepanjang masa. Santri yang telah menyelesaikan pelajaran disuatu pesantrenbisa jadi pindah kepesantren lain atau mendirikan pesantren baru, namun kontak pribadi dengan kiai, dimana dia berguru masi tetap terpelihara.
Dipandang dari sudut maksudnya ide-ide pembaruan pemikiran islam ke dunia pendidikan, setidaknya ada tiga hal yang perlu diperbarui. Pertama, metode tidak puas hanya dengan metode tradisional pesantren, tetapi diperlukan metode-metode baru yang lebih merangsang untuk berpikir, Kedua, isi atau materi pelajaransudah perlu diperbarui, tidak hanya mengandalkan mata pelajaran agamaemata-mata yang bersumber dari kitab-kitab kalasi. Sebab masyarakat muslim sejak awal abad ke-20 di Indonesia merasakan peranan ilmu pengetahuan umum bagi kehidupan individu maupun kolektif. Ketiga, Manajemen. Manajemen pendidikan adalah keterkaitan antara system lembaga pendidikan dengan bidang-bidang lainnya di pesantren.
Dari berbagai uraian terdahulu dapat dikemukakan beberapa indikasi terpenting dari pendidikan islam pada masa pembaruan, yakni:
1.      Dimasukkan mata pelajaran umumkemadrasah.
2.      Penerapan system klasikan dengan segalakaitannya.
3.      Ditata dan dikelola administrasi sekolah dengan tetap berpegang kepada prinsip manajemen pendidikan.
4.      Lahirnya lembaga pendidikan islam baru yang diberi nama dengan madrasah.
5.      Diterapkannya beberapa mengajar selain dari metode yang lazim dilakukan dipesantren serogan dan watonan.[16]
Maka dapat disimpulkan dari lima macam pembaruan pemikiran pendidikan Islam ini adalah langkah baru untuk umat muslim di Indonesia dalam mengecam pendidikan yang tidak lagi semata-mata dalam bentuk tradisional yang sudah menggunakan pelajaran-pelajaran umum yang diterima oleh masyarakat Indonesia, jika ide-ide pembaruan itu diterapkan dalam dunia pendidikan Islam, maka pembaruan ini akan menjadi salah satu jalan menuju perbaikan pendidikan islam di Indonesia.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dapat disimpulkan dari penjelasan di atas tentang masuk dan berkembangnya ide-ide pembaruan pemikiran islam di indonesia pada  awal abad ke xx. Diantaraya sebagai berkut :
1.      Pembaruan Pemikiran Islam yang menggema diberbagai dunia islam seperti Mesir, Turki dan India akhirnya pada awal abad ke-20 sampai juga ke Indonesia, dibawa oleh para pelajar yang pulang kembali keindonesia membawa pemikiran-pimikiran baru, salah satu diantara pemikiran-pemikiran baru itu adalah dalam bidang pendidikan.
2.      Pendekatan pembaruan pemikiran islam ini ditandai dengan adanya gerakan pembaharuan pemikiran yang mendapat giliran ketika vendulum sejarah lebih mendekatinya suatu saat nanti, maka tidak tertutup kemungkinan apa yang dilakukan oleh penentang pembaharuan ini menjadi watak gerakan pembaharuan juga.
3.      Ada lima macam pembaruan pemikiran pendidikan Islam ini adalah langkah baru untuk umat muslim di Indonesia dalam mengecam pendidikan yang tidak lagi semata-mata dalam bentuk tradisional yang sudah menggunakan pelajaran-pelajaran umum yang diterima oleh masyarakat Indonesia, jika ide-ide pembaruan itu diterapkan dalam dunia pendidikan Islam, maka pembaruan ini akan menjadi salah satu jalan menuju perbaikan pendidikan islam di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Arief Subhan, Lembaga pendidikan islam indonesia abad ke-20 (Jakarta: kencana, 2012)
Hadar Putra Daulay, Sejarah Petumbuhan & Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group, 2018)
Haidar Putra Daulay. Pendidikan islam dalam Lintasan Sejarah, Kajian dari Zaman Pertumbuhan Sampai Kebangkitan. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013)
Ramayulis. Sejarah Pendidikan Islam: Perubahan Konsep, Filsafat, dan Metodologi dari Era Nabi SAW sampai Ulama Nusantara. (Jakarta: Kalam Mulia, 2011)
Reksa Julia & Pretiwi Julianta, Sejarah Pendidikan Islam Priode Pembaharuan, (Universitas Islam Negeri, Imam Bonjol, 2017)
Saudi Asyrari, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam Di Indonesia, (MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011)






[1] Saudi Asyrari, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam Di Indonesia, (MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011), hal. 300
[2] Ibid,.hal. 301
[3] Commins, Islamic Reform, h. 34.
[4] Hadar Putra Daulay, Sejarah Petumbuhan & Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group, 2018),h. 51
[5] Saudi Asyrari, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam Di Indonesia, h. 302
[6]Haidar Putra Daulay. Pendidikan islam dalam Lintasan Sejarah, Kajian dari Zaman Pertumbuhan Sampai Kebangkitan. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), h. 173
[7]Arief Subhan, Lembaga pendidikan islam indonesia abad ke-20 (Jakarta: kencana, 2012), hlm. 132-133
[8]Ramayulis. Sejarah Pendidikan Islam: Perubahan Konsep, Filsafat, dan Metodologi dari Era Nabi SAW sampai Ulama Nusantara. (Jakarta: Kalam Mulia, 2011), h. 303 – 304 
[9] Reksa Julia & Pretiwi Julianta, Sejarah Pendidikan Islam Priode Pembaharuan, (Universitas Islam Negeri, Imam Bonjol, 2017) hal. 12
[10] Ibid,.hal 13
[11] Ibid,.hal. 14
[12] Ibid,. hal.14
[13] Saudi Asyrari, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam Di Indonesia, h. 307
[14] Ibid.,h. 307
[15] Ibid., h. 308
[16] Haidar Putra Daulai, Sejarah Pertumbuhan & Pembaruan….., h. 59-61