Jumat, 25 Oktober 2019

MASUK DAN BERKEMBANGNYA IDE-IDE PEMBARUAN PEMIKIRAN ISLAM DI INDONESIA PADA AWAL ABAD KE XX, UIN SUMATERA ITARA

Makalah
MASUK DAN BERKEMBANGNYA IDE-IDE PEMBARUAN PEMIKIRAN ISLAM DI INDONESIA PADA  AWAL ABAD
KE XX
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dan diseminarkan pada Mata Kuliah Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia




  

Disusun Oleh :

DTM AYUB AZHARI
3003183056



SEM/PRODI : III – S2 / PENDIDIKAN ISLAM (PEDI-A)


PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUMATERA UTARA
MEDAN
2019



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Sejarah pembaharuan pemikiran di dunia Islam (Arab, Mesir, India, Turki, Iran, Syria dan Tunisia) telah bergulir sejak abad 18 atau awal abad 19. Di tanah Arab ditandai dengan gerakan Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab dengan semangat pemurnian akidahnya. Gerakan pemurnian ini merupakan respon ‘Abd al-Wahhab terhadap realitas umat Islam yang menurutnya bertentangan dengan Islam yang pahaminya.
Pembaruan Pemikiran Islam yang menggema diberbagai dunia islam seperti Mesir, Turki dan India akhirnya pada awal abad ke-20 sampai juga ke Indonesia, dibawa oleh para pelajar yang pulang kembali keindonesia membawa pemikiran-pimikiran baru, salah satu diantara pemikiran-pemikiran baru itu adalah dalam bidang pendidikan.
Maka pada pembahasan dimakalah ini,membahas tentang masuk dan berkembangnya ide-ide pembaruan pemikiran islam di indonesia pada  awal abad ke xx yang sub poin pembahasan adalah, Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, Pendekatan Pembaruan Pemikiran Islam, Ciri-ciri Pendidikan Islam pada Masa Pembaruan.





BAB II
PEMBAHASAN
MASUK DAN BERKEMBANGNYA IDE-IDE PEMBARUAN PEMIKIRAN ISLAM DI INDONESIA PADA  AWAL ABAD KE XX

A.    Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia
Kontinuitas pembaharuan pemikiran berbagai aspek oleh pemikir dari berbagai latar belakang berbeda dalam Islam adalah sebuah keniscayaan yang tidak boleh ada tawar menawar, harga mati. Segala upaya untuk menggagalkannya dapat dianggap sebagai tindakan yang merusak makna hakiki kehadiran Islam sebagai agama rahmat li al-‘âlamîn ini. Ada fakta bahwa sebagian besar masyarakat Muslim berpendidikan rendah adalah kelompok yang sangat rentan menjadi korban dari arus negatif globalisasi. Bagi umat Islam yang masih mementingkan agama sebagai pedoman utama dalam hidupnya, globalisasi bisa menjadi batu ujian yang sangat berat. Karena, melalui arus globalisasi bisa mengalir berbagai budaya yang bisa bertentangan dengan nilai-nilai agama.[1]
Fakta lain adalah legasi sejarah bahwa pada kurun tertentu dari perjalanan sejarah Islam, umat Islam hanyut dalam taklid halal-haram oriented, ketimbang aspek pengembangan pemikiran. Setiap ada persoalan yang muncul masyarakat Islam, dibiasakan merespons dengan melihat apa hukumnya, apakah halal atau haram. Bukan pertanyaan seperti mengapa dilakukan seperti yang dilihat, bukan dengan cara lain yang lebih progresif. Adanya periode tertentu dari sejarah Islam yang terlalu menekankan fiqih sebagai jawaban terhadap sebagian besar aspek kehidupan, telah memformat cara pikir umat Islam seperti itu. Di samping itu, tentu saja anggapan pintu ijtihad telah ditutup dan kampanye anti bid’ah adalah factor lain yang tidak boleh dianggap kecil tanggungjawabnya terhadap petaka ketertinggalan Islam dari peradaban lain atau mungkin lebih tepat ketertinggalan Muslim dari nilai-nilai Islami dalam kehidupannya. Kembali mewabahnya gerakan anti pembaharuan di berbagai negara Islam, baik melalui lembaga pendidikan maupun kegiatan-kegiatan dakwah lainnya, jika tidak diimbangi oleh adanya keberanian untuk mengimbanginya, akan bias berdampak besar bagi kelesuan kemandulan pemikiran dalam Islam. Lambat laun di suatu masa yang akan datang akan bisa memunculkan adanya generasi yang pemikirannya diamputasi, sebagaimana pengalaman sejarah pasca munculnya pendapat bahwa pintu ijtihad telah tertutup.[2]
Maka pertanyaannya, apa saja yang harus di perbaharuin ? tentang pembaharuan pemikiran islam di Negara-negara yang notabenenya berindentiraskan islam agar terbangunkan pola pikir yang berwawasan dan berilmu pengetahuan. Di sinilah sebenarnya, letak batu sandung besar penghambat gerakan pembaharuan pemikiran di dunia Islam, khususnya di Indonesia dewasa ini.
Sejarah pembaharuan pemikiran di dunia Islam (Arab, Mesir, India, Turki, Iran, Indonesia, Syria dan Tunisia) telah bergulir sejak abad 18 atau awal abad 19. Di tanah Arab ditandai dengan gerakan Muhammad bin ‘Abd al-Wahhab dengan semangat pemurnian akidahnya. Gerakan pemurnian ini merupakan respon ‘Abd al-Wahhab terhadap realitas umat Islam yang menurutnya bertentangan dengan Islam yang pahaminya.[3]
Pembaruan Pemikiran Islam yang menggema diberbagai dunia islam seperti Mesir, Turki dan India akhirnya pada awal abad ke-20 sampai juga ke Indonesia, dibawa oleh para pelajar yang pulang kembali keindonesia membawa pemikiran-pimikiran baru, salah satu diantara pemikiran-pemikiran baru itu adalah dalam bidang pendidikan.[4]
Di Indonesia, pembaharuan Islam secara kelembagaan atau organisasi keagamaan sudah dimulai sejak pergantian abad 20 ke abad 21 yang lalu. Salah satu organisasi yang paling berjasa dalam hal ini adalah Muhammadiyah yang didirikan pada tahun 1912 oleh KH. Ahmad Dahlan. Muhammadiyah memulai pembaharuannya dengan mendirikan sekolah-sekolah. Tetapi perkembangan terakhir menunjukkan bahwa peran pemikir muda Muhammadiyah telah memberikan kontribusi yang amat besar bagi pembaharuan pemikiran di Indonesia.[5]. Adapun pekembangan pemikiran islam di Indonesia yang melahirkan lembaga pendidikan seperti madrasah.
1.      Pembaharuan pendidikan islam di Indonesia
Modernisasi pendidikan Islam Indonesia masa awalnya dikenalkan oleh bangsa kolonial Belanda pada awal abad ke-19. Program yang dilaksanakan oleh kolonial Belanda dengan mendirikan Volkshoolen, sekolah rakyat, atau sekolah desa ( Nagari) dengan masa belajar selama 3 tahun, di beberapa tempat di Indonesia sejak dasawarsa 1870-an. Pada tahun 1871 terdapat 263 sekolah dasar semacam itu dengan siswa sekitar 16.606 orang; dan menjelang 1892 meningkat menjadi 515 sekolah dengan sekitar 52.685 murid.
Sistem Pendidikan Islam pada mulanya diadakan di surau-surau dengan tidak berkelas-kelas dan tiada pula memakai bangku, meja, dan papan tulis, hanya duduk bersela saja. Kemudian mulialah perubahan sedikit demi sedikit sampai sekarang. Pendidikan Islam yang mula-mula berkelas dan memakai bangku, meja dan papan tulis, ialah Sekolah Adabiah ( Adabiah School) di Padang.[6]
Adabiah School merupakan madrasah (sekolah agama) yang pertama di Minangkabau, bahkan diseluruh Indonesia. Madrasah Adabiah didirikan oleh Almarhum Syekh Abdullah Ahmad pada tahun 1909. Adabiah hidup sebagai madrasah sampai tahun 1914, kemudian diubah menjadi H.I.S. Adabiah pada tahun 1915 di Minangkabau yang pertama memasukkan pelajaran Agama dalam rencana pelajarannya. Sekarang Adabiah telah menjadi sekolah Rakyat dan SMP.
Setelah berdirinya madrasah Adabiah, maka selanjutnya diikuti madrasah lainnya seperti madras Schol di Sungyang (daerah Batusangkar) oleh Syekh M.Thaib tahun 1910 M, Diniah School (madrasah diniah) oleh Zainuddin Labai Al-Junusi di Padangpanjang tahun 1915.
2.      Pembaharuan Pendidikan Islam terhadap Modernisasi Madrasah di Indonesia.
Pada awal abad ke-20, pendidikan Islam di Indonesia mengalami babak baru dalam sejarah, yaitu masa pembaharuan. Pembaharuan dalam pendidikan Islam adalah salah satu jawaban terhadap kekuasaan dan dominasi Eropa. Respon pendidikan berupa penolakan, adaptasi, ataupun sampai kepada akulturasi dan pembaharuan, dengan akibatnya masing-masing. Setelah diketahui sistem pendidikan, maka dapat dicermati beberapa perubahan yang terjadi, antara lain pada:[7]
a.       Tujuan dan Materi
Tujuan pendidikan Islam tentu harus sesuai dengan apa yang dikandung dalam Al-Qur’an dan Hadits. Tujuan dari berdirinya lembaga-lembaga pendidikan Islam (khususnya keluarga dan pesantren) berorientasi pada pendidikan agama. Tujuannya mengacu pada pembentukan manusia yang sempurna dimana seorang muslim adalah memiliki akhlak mulia, sehat jasmani dan rohani.
Sebelum Belanda mengembangkan sistem pendidikan Baratnya, pendidikan Islam yang ada hanyalah mengembangkan tujuan keagamaan. Setelah pendidikan Belanda berdiri, mau tidak mau para pelaku pendidikan Islam berpikir ulang agar sistem yang dikembangkan tetap diminati masyarakat. maka sistem pendidikan Islam mulai terbuka dengan memasukkan pelajaran-pelajaran umum ke dalam kurikulumnya.[8] Hal ini dilakukan agar pesantren tidak “ketinggalan jaman” tanpa mengubah orientasi atau landasan dasarnya.
Seperti misalnya pesantren Mambaul Ulum di Surakarta, kurikulumnya berubah dengan dimasukkannya pelajaran membaca huruf Latin, aljabar dan berhitung.   
Akhirnya muncul dua macam pesantren, yaitu pesantren salafi yang masih mempertahankan kurikulumnya, dan pesantren khalafi yang telah memasukkan pelajaran umum.[9]   
Perubahan tersebut juga ditandai dengan munculnya lembaga madrasah dan sekolah. Munculnya madrasah di Indonesia merupakan salah satu wujud respon terhadap kebijakan pemerintah Hindia Belanda di Indonesia.   Madrasah muncul setelah sisten pendidikan Belanda hadir, yaitu yang pertama kali berdiri pada tahun 1909 (Adabiyah School), atau dapat dikatakan, madrasah dari tidak ada menjadi ada. Keberadaannya menjadi salah satu upaya untuk menjembatani antara sistem pendidikan. tradisional yang dilakukan oleh pesantren dan sistem pendidikan modern dari hasil akulturasi.   Pola dan variasi madrasah tidak akan keluar dari tiga format dasar: madrasah yang menyerupai sekolah Belanda, madrasah yang menggabungkan secara lebih seimbang antara muatan-muatan keagamaan dan non-keagamaan, dan madrasah yang lebih menekankan pada muatan-muatan keagamaan dan menambahkan muatan-muatan umum secara terbatas.[10]
b.      Metode dan Sarana
Dalam perubahan metode dan sarana dalah penyesuaian terhadap materi berdasar tujuannya. Pengajaran pada madrasah ataupun sekolah memakai sistem klasikal, dimana ada pengelompokan siswa dalam kelas-kelas. Pesantren Tebu Ireng, dengan mendirikan madrasah salafiyah merupakan modernisasi. Selain diajarkan pengetahuan umum, madrasah tersebut memakai sistem klasikal dengan perjenjangan: madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Mu’allimin. Sarana yang ada di pesantren berupa pondok, bangku yang digunakan untuk meletakkan kitab.
Madrasah diorganisasikan berdasarkan sistem klasikal atau madrasi, dimana murid dipisah-pisahkan dalam beberapa tingkatan, persis seperti yang dilakukan organisasi pendidikan umum dalam sistem pendidikan nasional.  Dalam  sistem  madrasi,  pelajaran-pelajaran  dikelompokkan  dan penyampaiannya diberikan secara bertingkat-tingkat dengan memperhitungkan rentang waktu yang dibutuhkan.
Lembaga pendidikan sekolah cenderung meniru pola yang diterapkan oleh Belanda. Pada sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh organisasi Muhammadiyah, pengorganisasiannya menyerupai sekolah-sekolah Belanda. Muhammadiyah membagi sekolahnya mirip dengan sekolah-sekolah Belanda: HIS Muhammadiyah, MULO, AMS Muhamadiyah.   
Dengan adanya kelas-kelas tersebut, tentunya ada gedung-gedung sekolah dengan kelas-kelas khusus. Dimana tiap kelas terdapat papan tulis, bangku-bangku, dan kursi. Jadi, sistem penyampaiannya tidak secara individual seperti pada model sorogan di pesantren, tetapi lebih cenderung berkelompok dimana satu guru menyampaikan materi dan semua siswa mendengarkan.[11]
c.       Evaluasi
Dari evaluasi yang telah dipaparkan pada masing-masing lembaga pendidikan, dapat disimpulkan tentang perubahannya. Pada mulanya pesantren berorientasi ukhrawi, mengukur keberhasilan lembaganya jika mampu menghasilkan santri yang taat, berakhlak mulia tanpa berharap berprofesi dalam jabatan tertentu. Pada lulusan pesantren dengan ikhlas kembali ke masyarakat dan tidak mengharapkan jabatan tertentu yang bersifat keduaniawian. Dengan kata lain, para santri dididik untuk sukses hidup di akhirat. Ijazah seperti halnya yang diberikan oleh sekolah-sekolah Belanda tidak dikenal. Mereka hanya mengenal ijazah sebagai tanda seberapa kualitas ilmu agama yang didapatkan dari para guru/kyainya, sementara sekolah-sekolah Belanda didirikan untuk melatih warga negara Indonesia bagi pemenuhan (salah satunya) profesi Pamong Praja.   Perubahan keinginan bangsa Indonesia terlihat dengan adanya madrasah, yang eksistensinya merupakan usaha menyempurnakan terhadap sistem pesantren ke arah suatu sistem yang lebih memungkinkan lulusan-lulusannya memperoleh kesempatan yang sama dengan sekolah umum yaitu kesamaan kesempatan kerja dan perolehan ijazah.  
Di dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri, ditetapkan: ijazah madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan nilai ijazah sekolah umum yang setingkat, lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat lebih atas, dan siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat. Di sini bisa disimpulkan bahwa penilaian keberhasilan pendidikan yang ada awalnya hanya keakhiratan, kemudian meluas ke keduniawian.[12]
B.     Pendekatan Pembaruan Pemikiran Islam
Pendekatan dalam pembaruan pemikiran islam itu melalui berdiskusi dan Berdebat, jika pembaruan pemikiran islam menggunakn pendekatan diskusi, maka diskusi dapat di-follow-up sampai sebuah gagasan dapat menciptakan perubahan sosial lebih luas. Diskusi bisa bermuara pada kesepakatan atau kesaling mengertian antara peserta diskusi. Meskipun tidak harus selalu terjadi kesepakatan. Sebaliknya, debat hampir selalu bermuara pada upaya mempertahankan diri atau apoligistik, ketimbang melihat kebenaran sebuah pemikiran. Pihak yang kalah dan lemah argumen dalam sebuah diskusi bisa saja bergabung dan mendukung argumen yang lebih unggul dan rasional. Sebaliknya, dalam sebuah debat, pihak yang menang bisa mengeliminasi pihak yang kalah sampai pada pengambil-alihan keberpihakan audiens yang tadinya lebih banyak berlaku pasif. Dalam sebuah perdebatan, pada umumnya yang lebih jernih mengambil kesimpulan adalah pendengar. Sedangkan dalam diskusi, baik partner diskusi maupun pendengar sama-sama bisa mengambil kesimpulan yang jernih. Di samping itu, dalam sebuah debat yang dicari adalah keunggulan sepihak untuk mengalah pihak lain yang bermuara pada ujung yang berbeda. Sedangkan dalam sebuah diskusi, fokus utama adalah mencari titik temu. Meskipun ada kalanya titik temu itu sendiri adalah kesepakatan untuk berbeda pendapat.[13]
Ciri lain dari debat adalah mempunyai keterbatasan waktu apabila sudah ada pihak yang lebih unggul atau memang masing-masing sepakat untuk mengakhiri. Sedang diskusi bisa saja menjadi sebuah serial yang berkembang sesuai dengan kondisi yang diciptakan. Dalam sebuah debat, audiens lebih banyak sebagai pendengar pasif yang bisa terpengaruh untuk mengambil sikap meskipun isu yang diperdebatkan bisa saja merupakan kepentingan mereka. Sedangkan dalam sebuah diskusi, audiens bisa terlihat secara aktif baik topik yang didiskusikan bersentuhan langsung dengan kepentingan mereka atau tidak. Salah satu etika diskusi adalah mengakui keunggulan argumen partner dikusi, apabila didukung oleh argumen dan fakta yang kuat. Hal ini jarang terjadi dalam sebuah perdebatan. Fenomena debat antara pengusung pembaharuan Islam dan penolaknya dalam wacana pembaharuan pemikiran di Indonesia kelihatannya diilhami oleh apa yang terjadi di sebagian besar negara Barat yang sekarang sekuler ketika mereka dulu mengalahkan argumen Gereja yang menguasai ruang publik. Apa yang terjadi di dunia Barat yang dapat disaksikan pada hari ini adalah marginalisasi agama dari ruang publik, sampai akhirnya ruang publik hanya diisi oleh sekularisme murni. Agama menjadi sesuatu yang aneh yang seharusnya perlu masuk penangkalan, namun didesak sedemikian rupa, sehingga harus mencari tempat keluar dari wilayahnya.[14]
 Jika sebagian besar pendekatan yang digunakan debat disebabkan oleh pengaruh tertentu, baik apa yang terjadi antara pihak Gereja dan sekularis di Barat maupun pengaruh pendekatan Timur Tengah masih dapat ditolerir, maka sebagian dari pendekatan yang digunakan di Indonesia tidak jauh beda dari UFC (Ultimate Fighting Championship) yang sering bermuara pada kuncian mati, sehingga pihak yang kalah bertekuk lutut sampai tidak bisa berbuat apa-apa dalam sebuah forum. Padahal seharusnya, tidak ada istilah menang mutlak dalam sebuah pertarungan pemikiran. Karena, kebenaran pemikiran bersifat relative yang sangat tergantung pada situasi ruang dan waktu. Stagnasi gerakan pemikiran beberapa tahun terakhir ini bisa dilihat dalam konteks ini, ketika gerakan yang berlawanan mendapat applous yang semakin kuat dan tempat yang semakin luas dalam masyarakat. Jika gerakan pembaharuan pemikiran mendapat giliran ketika vendulum sejarah lebih mendekatinya suatu saat nanti, maka tidak tertutup kemungkinan apa yang dilakukan oleh penentang pembaharuan ini menjadi watak gerakan pembaharuan juga.[15]
C.    Ciri-ciri Pendidikan Islam pada Masa Pembaruan
Ada beberapa indikasi Pendidikan Islam sebelum dimasuki ole hide-ide pambaruan:
1.      Pendidikan yang bersifat nonklasikal. Pendidikan ini tidakdibatasi atau ditentuan lamanya belajar seseorang berdasarkan tahun. Jadi seseorang bisa tinggal disuatu pesantren, satu tahun, atau dua tahun, atau boleh jadi beberapa bulan saja, bahkan mungkin juga belasan tahun.
2.      Mata pelajaran adalah semata-mata pelajaran agama yang bersumber dari kitab-kitab klasik. Tidak ada diajarkan mata pelajaran umum.
3.      Metode yang digunakan adalah metode sorogan, wetonan, hafalan, dan muzakarah.
4.      Tidakmementingkan ijazah sebagaibukti yang bersangkutan telah menyelesaikan atau menamatkan pelajaran.
5.      Tradisi kehidupan pesantren amat dominan dikalangan santri dan kiai. Ciri tradisi itu adalah antara lain kentalnya hubungan antara kiai dan santri. Hubungan batin ini berlangsung terus sepanjang masa. Kontak-kontak pribadi itulah yang terpelihara sepanjang masa. Santri yang telah menyelesaikan pelajaran disuatu pesantrenbisa jadi pindah kepesantren lain atau mendirikan pesantren baru, namun kontak pribadi dengan kiai, dimana dia berguru masi tetap terpelihara.
Dipandang dari sudut maksudnya ide-ide pembaruan pemikiran islam ke dunia pendidikan, setidaknya ada tiga hal yang perlu diperbarui. Pertama, metode tidak puas hanya dengan metode tradisional pesantren, tetapi diperlukan metode-metode baru yang lebih merangsang untuk berpikir, Kedua, isi atau materi pelajaransudah perlu diperbarui, tidak hanya mengandalkan mata pelajaran agamaemata-mata yang bersumber dari kitab-kitab kalasi. Sebab masyarakat muslim sejak awal abad ke-20 di Indonesia merasakan peranan ilmu pengetahuan umum bagi kehidupan individu maupun kolektif. Ketiga, Manajemen. Manajemen pendidikan adalah keterkaitan antara system lembaga pendidikan dengan bidang-bidang lainnya di pesantren.
Dari berbagai uraian terdahulu dapat dikemukakan beberapa indikasi terpenting dari pendidikan islam pada masa pembaruan, yakni:
1.      Dimasukkan mata pelajaran umumkemadrasah.
2.      Penerapan system klasikan dengan segalakaitannya.
3.      Ditata dan dikelola administrasi sekolah dengan tetap berpegang kepada prinsip manajemen pendidikan.
4.      Lahirnya lembaga pendidikan islam baru yang diberi nama dengan madrasah.
5.      Diterapkannya beberapa mengajar selain dari metode yang lazim dilakukan dipesantren serogan dan watonan.[16]
Maka dapat disimpulkan dari lima macam pembaruan pemikiran pendidikan Islam ini adalah langkah baru untuk umat muslim di Indonesia dalam mengecam pendidikan yang tidak lagi semata-mata dalam bentuk tradisional yang sudah menggunakan pelajaran-pelajaran umum yang diterima oleh masyarakat Indonesia, jika ide-ide pembaruan itu diterapkan dalam dunia pendidikan Islam, maka pembaruan ini akan menjadi salah satu jalan menuju perbaikan pendidikan islam di Indonesia.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dapat disimpulkan dari penjelasan di atas tentang masuk dan berkembangnya ide-ide pembaruan pemikiran islam di indonesia pada  awal abad ke xx. Diantaraya sebagai berkut :
1.      Pembaruan Pemikiran Islam yang menggema diberbagai dunia islam seperti Mesir, Turki dan India akhirnya pada awal abad ke-20 sampai juga ke Indonesia, dibawa oleh para pelajar yang pulang kembali keindonesia membawa pemikiran-pimikiran baru, salah satu diantara pemikiran-pemikiran baru itu adalah dalam bidang pendidikan.
2.      Pendekatan pembaruan pemikiran islam ini ditandai dengan adanya gerakan pembaharuan pemikiran yang mendapat giliran ketika vendulum sejarah lebih mendekatinya suatu saat nanti, maka tidak tertutup kemungkinan apa yang dilakukan oleh penentang pembaharuan ini menjadi watak gerakan pembaharuan juga.
3.      Ada lima macam pembaruan pemikiran pendidikan Islam ini adalah langkah baru untuk umat muslim di Indonesia dalam mengecam pendidikan yang tidak lagi semata-mata dalam bentuk tradisional yang sudah menggunakan pelajaran-pelajaran umum yang diterima oleh masyarakat Indonesia, jika ide-ide pembaruan itu diterapkan dalam dunia pendidikan Islam, maka pembaruan ini akan menjadi salah satu jalan menuju perbaikan pendidikan islam di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Arief Subhan, Lembaga pendidikan islam indonesia abad ke-20 (Jakarta: kencana, 2012)
Hadar Putra Daulay, Sejarah Petumbuhan & Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group, 2018)
Haidar Putra Daulay. Pendidikan islam dalam Lintasan Sejarah, Kajian dari Zaman Pertumbuhan Sampai Kebangkitan. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013)
Ramayulis. Sejarah Pendidikan Islam: Perubahan Konsep, Filsafat, dan Metodologi dari Era Nabi SAW sampai Ulama Nusantara. (Jakarta: Kalam Mulia, 2011)
Reksa Julia & Pretiwi Julianta, Sejarah Pendidikan Islam Priode Pembaharuan, (Universitas Islam Negeri, Imam Bonjol, 2017)
Saudi Asyrari, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam Di Indonesia, (MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011)






[1] Saudi Asyrari, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam Di Indonesia, (MIQOT Vol. XXXV No. 2 Juli-Desember 2011), hal. 300
[2] Ibid,.hal. 301
[3] Commins, Islamic Reform, h. 34.
[4] Hadar Putra Daulay, Sejarah Petumbuhan & Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group, 2018),h. 51
[5] Saudi Asyrari, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam Di Indonesia, h. 302
[6]Haidar Putra Daulay. Pendidikan islam dalam Lintasan Sejarah, Kajian dari Zaman Pertumbuhan Sampai Kebangkitan. (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), h. 173
[7]Arief Subhan, Lembaga pendidikan islam indonesia abad ke-20 (Jakarta: kencana, 2012), hlm. 132-133
[8]Ramayulis. Sejarah Pendidikan Islam: Perubahan Konsep, Filsafat, dan Metodologi dari Era Nabi SAW sampai Ulama Nusantara. (Jakarta: Kalam Mulia, 2011), h. 303 – 304 
[9] Reksa Julia & Pretiwi Julianta, Sejarah Pendidikan Islam Priode Pembaharuan, (Universitas Islam Negeri, Imam Bonjol, 2017) hal. 12
[10] Ibid,.hal 13
[11] Ibid,.hal. 14
[12] Ibid,. hal.14
[13] Saudi Asyrari, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam Di Indonesia, h. 307
[14] Ibid.,h. 307
[15] Ibid., h. 308
[16] Haidar Putra Daulai, Sejarah Pertumbuhan & Pembaruan….., h. 59-61

Tidak ada komentar:

Posting Komentar