Jumat, 25 Oktober 2019

Komponen-komponen Psikologi dalam Perspektif Islam, UIN SUMATERA UTARA

Makalah

KOMPONEN-KOMPONEN PSIKOLOGI DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas dan diseminarkan pada Mata Kuliah Psikologi Islam







Disusun Oleh :

DTM AYUB AZHARI
3003183056



SEM/PRODI : III – S2 / PENDIDIKAN ISLAM (PEDI-A)


PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUMATERA UTARA
MEDAN
2019


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Komponen-komponen psikologi bermakna konsep-konsep dasar yang merupakan asumsi dasar bagi pembentukan teori psikologi islam. Asumsi-asumsi dasar tersebut di formulasi dari pemahaman yang mendalam terhadap konsep-konsep Al-Quran tentang manusia. sedikitnya ada empat elemen dasar yang dijadikan sebagai pembentukan teori psikologi islam, yakni teori tentang psikis jiwa manusia, teori tentang struktur motivasi, teori tentang struktur pemenuhan kebutuhan manuisa jiwa manusia dan teori tentang struktur kebenaran yang digunakan dalam psikologi islam.
Psikologi islam adalah pandangan islam terhadap ilmu psikologi modern dengan berbagai aspek. Psikologi islam merupakan usaha untuk membangun sebuah teori dari khazanah kepustakaan Islam, baik dari Al-Quran ataupun Hadist.
Maka pada pembahasan dimakalah ini,membahas tentang komponen-komponen psikologi dalam perspektif islam yang didasari dari empat elemen yakni, teori tentang psikis jiwa manusia, teori tentang struktur motivasi, teori tentang struktur pemenuhan kebutuhan manuisa jiwa manusia dan teori tentang struktur kebenaran.
  
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Struktur Pisikis Manusia Menurut Islam
Adapun dalam Islam, karakter dasar penciptaan manusia bukan hanya pada aspek naluriah semata. Di samping itu ia memiliki potensi-potensi positif yang diberikan oleh Allah kepada dirinya guna menyempurnakan kekurangannya, seperti akal dengan daya rasa dan daya pikirnya, fitrah bertuhan, rasa etik, rasa malu, ilham, firasat, kemudian diberikan petunjuk al-Qur’an dan petunjuk Nabi SAW sebagai penyempurnanya. Selain itu, ia juga adalah makhluk yang memiliki iradah (kehendak-kehendak yang mulia), bebas menentukan tingkah lakunya berdasarkan pikiran dan perasaannya. Dengan kelengkapan-kelengkapan yang diberikan Allah ini, ia bisa menjadi makhluk yang sempurna, tidak hanya dikuasai oleh aspek biologisnya. Dengan segala potensi dan kelebihan ini ia pun menjadi makhluk yang memiliki tanggung jawab melestarikan alam, menyejahterakan manusia dan tanggung jawab kepada Tuhan atas segala tingkah lakunya serta kewajiban mencari rida-Nya.[1]
Manusia memiliki dimensi ganda, yaitu jiwa dan raga, atau rohani dan jasmani. Allah SWT menerangkan hal ini dalam firman-Nya:
وَإِذۡ قَالَ رَبُّكَ لِلۡمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّي خَٰلِقُۢ بَشَرٗا مِّن صَلۡصَٰلٖ مِّنۡ حَمَإٖ مَّسۡنُونٖ فَإِذَا سَوَّيۡتُهُۥ وَنَفَخۡتُ فِيهِ مِن رُّوحِي فَقَعُواْ لَهُۥ سَٰجِدِينَ 
Artinya : “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk, Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud” (Q.S al-Hijr: 28-29).[2]
Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah menciptakan fisik atau jasmani manusia dari tanah, kemudian meniupkan roh ciptaan-Nya ke dalam tubuhnya. Subtansi roh (Nafs Tamyiz) bahwa  Kata “tamyiz” dalam bahasa Arab berarti memisahkan dan membedakan antara sesuatu dengan yang lain.[3] Dari makna bahasa ini dapat dipahami bahwa nafs tamyiz berarti, nafs atau roh yang mampu mengidentifikasi atau membedakan antara suatu objek dan objek lainnya melalui potensi-potensi yang merupakan substansi dirinya. Seperti potensi indra untuk membedakan satu entitas dengan entitas lain, dan potensi akal untuk membedakan baik dan buruk, benar-salah, dan lain sebagainya. Lebih lanjut tentang potensi-potensi diri (nafs tamyiz) ini adalah sebagai berikut:
1.      Akal
Secara etimologi, kata akal berasal dari bahasa Arab: ‘aqala, ya‘qilu, ‘aqlan yang berarti mengikat atau menahan dan membedakan.[4] Sementara di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata akal dimaknai dengan daya pikir, pikiran, dan ingatan.[5] Pemaknaan bahasa Arab yang menggunakan kata kerja di atas (mengikat atau menahan dan membedakan) identik dengan kemampuan atau kekuatan mengikat dan membedakan, yang dalam KBBI disebut sebagai daya pikir, bukan pikiran dalam arti obyek yang dipikirkan (mutafakkar fihi) atau buah pikiran (fikrah). Dari pengertian etimilogis ini dapat dipahami bahwa akal merupakan daya yang terdapat dalam diri manusia yang dapat menahan atau mengikat (mengendalikan) pemiliknya dari perbuatan buruk dan jahat, serta untuk membedakan antara yang baik dan buruk. Jika akal bukan pikiran itu sendiri, tetapi kekuatan atau daya berpikir, maka akal lebih tepat jika diistilahkan sebagai substansi yang bisa berpikir.[6]
Ketika melakukan proses berpikir manusia memiliki cara atau mekanisme berpikir, yaitu cara kerja akal itu sendiri, berupa fungsi-fungsi kognitif seperti: mengenal, mengetahui, mengingat, menyadari, berimajinasi, bernalar, berintuisi, dan sebagainya. Sementara buah pikiran adalah hasil yang ditimbulkan dari proses berpikir.[7]
Dengan demikian, kata “akal” memiliki medan makna yang lebih luas. Daya pikir hanyalah satu unsur kelengkapan akal. Kelengkapan lainnya ialah daya rasa. Akal yang lengkap adalah jalinan antara daya pikir dan daya rasa. Dalam menimbang baik dan buruk, benar dan salah, manusia tidak hanya berpikir, tetapi juga merasa.
2.      Indra
Substansi roh lainnya selain akal misalnya adalah indra melihat, mendengar, mengecap, meraba, mencium, dan merasa. Semua itu adalah bagian dari substansi roh. Bukan substansi nafs hayah. Hal ini dapat kita perhatikan ketika seseorang sedang tertidur. Fisiknya tetap hidup, masih bernafas, bahkan masih bisa bergerak walaupun tidak leluasa, tetapi potensi indranya telah hilang. Ia tidak lagi bisa melihat, mendengar, atau berpikir. Nafs tamyiz orang yang tidur telah dicabut, tetapi nafs hayah-nya masih tetap ada. Ini pula yang dialami oleh bayi yang belum berumur empat bulan, hanya baru memiliki substansi nafs hayah, karena roh belum ditiupkan kepadanya. Fisiknya hidup, tetapi belum mempunyai roh, layaknya orang tidur. Nabi SAW mengajarkan kita berdoa setelah bangun tidur: “Segala puji bagi Allah yang telah mengembalikan rohku kepadaku, menyehatkan jasadku dan mengizinkan aku berdzikir kepada-Nya” (HR. Nasai). Hadis ini menunjukkan bahwa ketika tidur, roh manusia meninggalkan jasadnya, tetapi ia masih tetap memiliki hayah (kehidupan).[8]
3.      Tenaga
Tenaga di sini adalah daya yang menjadikan manusia mampu bergerak. Potensi ini adalah bagian dari substansi roh, seperti halnya indra. Manusia bisa saja kehilangan tenaganya seperti pada orang yang lumpuh. Sama halnya dengan seorang yang kehilangan indra penglihatan, pendengaran, penciuman, atau peraba.[9]
4.      Naluri/Insting
Naluri (gharizah) juga bagian dari substansi roh, yang juga dimiliki oleh manusia dan hewan, namun tidak dimiliki oleh tumbuhan. Pada naluri/insting inilah letak syahwat kemaluan dan syahwat perut manusia, karena ia tidak berada di daya pikir ataupun daya rasa. Makan, minum, dan hubungan badan adalah kebutuhan-kebutuhan yang tidak akan terlepas dari manusia dan hewan, keduanya sama-sama memiliki syahwat tersebut. Oleh karena itu, seorang yang daya rasa, daya pikir, dan indranya tidak digunakan untuk mendengarkan dan memikirkan ayat-ayat Allah, tetapi hanya mementingkan naluri syahwatnya, ia dinilai sama derajatnya dengan binatang, bahkan lebih buruk, karena binatang tidak punya akal untuk menilai baik-buruk.[10]
5.      Fitrah
Substansi roh lainnya adalah fitrah. Fitrah perupakan ‘program’ bawaan roh manusia yang menjadikannya selalu merasa bahwa ia adalah makhluk yang diciptakan oleh Tuhan Yang Mahakuasa. Allah menyematkannya di dalam roh sebelum ditiupkan ke dalam rahim ibunya. Allah berfirman: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘Bukankah aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab: “Benar (Engkau Tuhan kami), Kami menjadi saksi” (QS. al-A`raf: 172). Persaksian ini bukanlah sesuatu yang diingat oleh akal, tetapi sesuatu yang dirasakan oleh jiwa. Oleh karena itu, bagaimanapun ateis-nya seorang manusia, ketika ia dalam kondisi darurat yang mengancam jiwanya maka dimensi roh ini akan tampil pada dirinya. Al-Qur’an mengibaratkan dengan seorang yang terombang-ambing oleh badai di tengah samudra (QS. Yunus: 22). Atau seperti seorang yang naik pesawat, lalu pesawatnya mengalami gangguan teknis dan hendak jatuh. Saat-saat genting seperti itu pasti akan memunculkan dimensi roh ini, sehingga ia akan berteriak: “Ya Tuhanku, selamatkanlah aku”.[11]
B.     Struktur Motivasi Menurut Islam
Dalam khazanah ilmu pengetahuan Islam, ada definisi yang dikemukakan oleh pakar ilmu jiwa, bahwa motivasi adalah dorongan atau keinginan psikologis atau kejiwaan yang ada pada diri seseorang, keinginan ini mempengaruhi perilaku pada keadaan khusus untuk memenuhi apa yang dihajatkannya, keinginan ini berupa desakan-desakan atau dorongan-dorongan atau kecondongan hati untuk melakukan sesuatu.[12]
            Gejala sosial dan individu yang dicermati dalam sebuah sistem sosial atau organisasi melahirkan sebuah studi tentang perilaku organisasi. Bila dilihat dari perspektif ini, peran lingkungan dalam mengkondusifkan organisasi menjadi penting untuk dirumuskan sebagai sebuah mekanisme organisasi yang sistematis. Dalam pemahaman seperti inilah Imam Al Ghazali memandang bagaimana motivasi seseorang muncul sehingga mampu meningkatkan prestasi kerjanya. Perspektif Al Ghazali dalam motivasi didasarkan pada bukunya Ihya Ulumuddin, khususnya dalam rubu (bagian) khauf wa raja’ (takut dan harap). Menurut Al Ghazali, konsep motivasi adalah perasaan takut dan harap sebagai sarana pendakian untuk mendekatkan diri kepada Allah menuju setiap peringkat yang terpuji.[13]
Harap dan takut ini bagi Al Ghazali memiliki dua manfaat yaitu (1) sebagai daya dorong untuk melakukan perjalanan dan perkembangan mental spiritual sehingga memiliki prestasi yang terpuji, (2) menjadi kontrol atau pisau kritis terhadap perjalanan spiritual atau mental. Implikasinya, yang mendorong kita untuk maju adalah adanya rasa harap dan yang menahan kita untuk melakukan perbuatan yang tidak produktif adalah rasa takut. Di sinilah tampak urgensi peran khauf dan raja‟ sebagai motif dasar menusia dalam menggerakkan perilaku manusia di muka bumi[14]


Sumber: Al-Kaysi, 1998: 106
Menurut Al Kaysi-seorang Associates Professor dari Universitas Yarmouk, Yordania, perasaan takut dan harap kepada Allah itu termasuk motivasi dari dalam diri manusia. Pandangan Al Kaysi sendiri terhadap motivasi dalam Islam adalah sebagaimana dalam Gambar di atas.
Maka dapat disimpulkan bahwa motivasi manusia terbagi kedalam dua bagian. Dorongan dari luar diri manusia, berupa adanya surga di akhirat, adanya taufik di dunia, perasaan ingin selamat dari api neraka dan musibah. Dorongan ini dicapai dengan melaksanakan banyak kebaikan dan mengurangi keburukan/kejahatan. Sedangkan motivasi dari dalam diri manusia dapat berupa cinta kepada Allah, takut kepada Allah, mengharap kepadaNya, dan malu kepada-Nya.
C.    Struktur Pemenuhan Kebutuhan Manusia Menurut Islam
Menurut Islam, yaitu senantiasa mengaitkannya dengan tujuan utama manusia diciptakan yaitu ibadah. Untuk memenuhi kebutuhan ini, maka Allah menghiasi manusia dengan hawa nafsu (syahwat), dengan adanya hawa nafsu ini maka muncullah keinginan dalam diri manusia.
1.      Dharuriyat (Primer)
     Menurut al-Syathibi, Dharuriyat (primer) adalah kebutuhan paling utama dan paling penting. Kebutuhan ini harus terpenuhi agar manusia dapat hidup layak. Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi hidup manusia akan terancam didunia maupun akhirat. Kebutuhan ini meliputi, khifdu din (menjaga agama), khifdu nafs (menjaga kehidupan), khifdu ‘aql (menjaga akal), khifdu nasl (menjaga keturunan), dan khifdu mal (menjaga harta). Untuk menjaga kelima unsur tersebut maka syari‟at Islam diturunkan. Sesuai dengan firman Allah SWT, dalam QS. Al-Baqarah:179 dan 193.
وَلَكُمۡ فِي ٱلۡقِصَاصِ حَيَوٰةٞ يَٰٓأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ 
Artinya :”Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa” (Q.S al-Baqarah: 179).

وَقَٰتِلُوهُمۡ حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتۡنَةٞ وَيَكُونَ ٱلدِّينُ لِلَّهِۖ فَإِنِ ٱنتَهَوۡاْ فَلَا عُدۡوَٰنَ إِلَّا عَلَى ٱلظَّٰلِمِينَ 
Artinya:”Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zali”. (Q.S al-Baqarah: 193).[15]
     Maka dapat disimpulkan dari penjelasan di atas bawah tujuan yang bersifat dharuri adalah tujuan utama untuk pencapaiaan kehidupan yang abadi bagi manusia Lima kebutuhan dharuriyah tersebut harus dapat terpenuhi, apabila salah satu kebutuhan tersebut diabaikan akan terjadi ketimpangan atau mengancam keselamatan umat manusia baik didunia maupun diakhirat kelak. Manusia akan hidup bahagia apabila ke lima unsur tersebut dapat dilaksanakan dengan baik.
2.      Hajiyat (Skunder)
Kebutuhan ini maksudnya untuk memudahkan, menghilangkan kesulitan atau menjadikan pemeliharaan yang lebih baik terhadap lima unsur pokok kehidupan manusia. Pada dasarnya jenjang hajiyah ini merupakan pelengkap yang mengokohkan, menguatkan, dan melindungi jenjang dharuriyyah. Atau lebih spesifiknya lagi bertujuan untuk memudahkan atau menghilangkan kesulitan manusia di dunia.[16]
3.      Tahsiniyat (Tersier)
Kebutuhan tahsiniyah adalah kebutuhan yang tidak mengancam kelima hal pokok yaitu khifdu din (menjaga agama), khifdu nafs (menjaga kehidupan), khifdu „aql (menjaga akal), khifdu nasl (menjaga keturunan), serta khifdu maal (menjaga harta) serta tidak menimbulkan kesulitan umat manusia. Kebutuhan ini muncul setelah kebutuhan dharuriyah dan kebutuhan hajiyat terpenuhi, kebutuhan ini merupakan kebutuhan pelengkap.[17]
D.    Struktur Kebenaran Menurut Islam
1.      Hakekat Kebenaran
Kata " kebenaran dapat digunakan sebagai suatau kata yang konkret maupun abstrk. Jika subjek hendak mengatakan kebenaran artinya adalah beposisi yang benar. Namun apabila menyatakan kebenran bahwa proposisi yang diuji itu pasti memiliki kualitas, sifat atau karakteristik, hubungan dan nilai. Hal yang demikian itu karena kebenaran tidak dapat begitu saja terlepas dari kualitas, sifat dan hubungan nilai itu sendiri.[18]

2.      Sifat-sifat kebenaran
a.       Deskriptif
Sifat ini terdapat dalam pernyataan proposisi atau keyakinan yang mana (a) bersifat mesti, yakni secara analisis ia benar. Misalkan jika pmenyiratkan q, dan p adalah kasus, maka q juga kasus. Atau (b) bersifat kemungkinan, yakni secara empiris ia benar. Misalkan “ bumi itu bulat “ kebenaran berfungsi sebagai kata sifat, seperti mkeyakinan yang benar.
b.      Instrumental
Sifat ini terdapat dalam suatu keyakinan yang menjadi pembimbing bagi pemikiran dan tindakan untuk meraih kesuksesan. Misal : Bertindak dengan keyuakinan bahwa sifat api itu membakar dan dapat mencegah seseorang dari kebakaran. Kebakaran di sini berfungsi sebagai kata keterangan , yakni seseorang mempunyai keyakinan dengan benar bahwasanya dia dapat mencegah kebakaran.
c.       Substansif
Sifat ini didasarkan pada kenyataan misalkan “ Tuhan adalah kebenaran” jadi kebenaran di sini berfungsi sebagai kata benda.
d.      Eksistensial
Sifat ini didasarkan pada salah satu jalan hidup atau komitmen puncak seseorang misalkan “Hidup lebih baik dari pada sekedar mengetahui kebenaran” kebenaran berfungsi sebagai kata kerja.[19]

3.      Kebenaran menurut Islam
Menurut konsep islam bahwa keadilan tidak sama dengan sikap netral, sebab keadilan itu adalah berpihak pada kebenaran. Sedang masalahnya adalah bagaimana seseorang itu dapat berpihak pada kebenaran jika kebenaran itu masih diragukan.
Dalam islam kebenaran substabsial dan esensial ayat-ayat al Quran bersifat deterministik, namun kebenaran tafsiran dan pemakaian bersifat indetermantik yaitu dapat dikembangkan secara luas dan terus-menerus. Bagi manusia disediakan kawasan indhetermunistik yaitu kawasan untuk menjangkau kebenaran empiric sensual, kebenaran empiric logis, kebanaran empiric etik, kebenaran empiric mu'amalah terhadap manusia. Dalam Islam kebenaran hanya satu, bila dikaitkan dengan kebenaran disisi Allah. Akan tetapi bila dikaitkan dengan interprestasi yang dilakukan manusia dalam mencari kebenaran tersebut, maka akhirnya akan melahirkan perbedaan dan pertentangan. Misalkan 2 = 2 = 4, 2 +2 = 6 Teori ini mudah diterima, tetapi bila persoalannya manyangkut interprestasi atas ajaran agama, maka persoalannya menjadi berbeda sama sekali. Al Qur'an menguraikan berbagai persoalan hidup dan kehidupan, antara lain menyangkut alam raya dan fenomenanya. Uraian sekitar persoalan tersebut sering disebut aat kauniyah. Tidak kurang dari 450 ayat yang menguraikan hal tersebut.[20]


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dapat disimpulkan dari penjelasan di atas tentang masuk dan berkembangnya ide-ide pembaruan pemikiran islam di indonesia pada  awal abad ke xx. Diantaraya sebagai berkut :
1.      Struktur fsikis di dalam diri manusia terdiri dari akal dengan daya rasa dan daya pikirnya, fitrah bertuhan, rasa etik, rasa malu, ilham, firasat, kemudian diberikan petunjuk al-Qur’an dan petunjuk Nabi SAW sebagai penyempurnanya.
2.      Motivasi adalah dorongan atau keinginan psikologis atau kejiwaan yang ada pada diri seseorang, keinginan ini mempengaruhi perilaku pada keadaan khusus untuk memenuhi apa yang dihajatkannya, keinginan ini berupa desakan-desakan atau dorongan-dorongan atau kecondongan hati untuk melakukan sesuatu.
3.      Manusia diciptakan ke dunia untuk memenuhi kebutuhan, kebutuhan tersebut ialah senantiasa mengaitkannya dengan tujuan utama manusia diciptakan yaitu ibadah.
4.      kebenaran dapat digunakan sebagai suatau kata yang konkret maupun abstrk. Jika subjek hendak mengatakan kebenaran artinya adalah beposisi yang benar. Namun apabila menyatakan kebenran bahwa proposisi yang diuji itu pasti memiliki kualitas, sifat atau karakteristik, hubungan dan nilai.



DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakr al-Razi, Mukhtar al-Sihah, (Beirut: al-Maktabah al-‘Asriyyah, 1999)

Al Ghazali. Iman Abu Muhammad bin Muhammad, 2007. Ihya „Ulumuddin. Penerjemah: Ahmad Rofi‟ Usmani

Al Kaysi, Marwan Ibrahim, 1998. Ad Daafi‟iyatu al Nafsiyatu fi al‟Aqidatu al Islamiyahal Majalah Jami‟atu al Maliku Sa‟udi (10), (Al „Ulum al Tarbiyatu wa Darasatu al Islamiyah, 1, pp)

Baharuddin, Paradigma Psikologi Islam, (Yogyakarta: Pustakan Pelajar, Cet. 2, 2007),

Darmawan. Cecep, 2006. Kiat Sukses Manajemen Rasulullah: Manajemen Sumber Daya Insani Berbasis Nilai-Nilai Ilahiyahal (Bandung: Penerbit Khazanah Intelektual).

Drs.H.Fathul Mufid M.Si, Buku Daros ( Filsafat Ilmu Islam ), STAIN Kudus, 2008

H.M. Rasjidi dan Harifuddin Cawidu, Islam untuk Disiplin Ilmu Filsafat, (Jakarta: CV. Kuning Mas, 1984),

Ibnu Taimiyyah, Majmu‘Fataw’a, Jil. IV, Abdurrahman ibn Muhammad ibn Qasim (Ed.), (Madinah: Majma‘ Malik Fahd, 1995)

Ika Yunia Fauzia, dkk, Prinsip Dasar Ekonomi Islam, (Sidoarjo: Kencana, 2014)

Karim, Adiwarman, Sejarah Pemikiran Ekonomi edisi kedua,(Jakarta: Grafindo Persada, 2004)

Lalu Hari Afrizal, Psikonalisa Islam, Menggali Struktur Pisikis Manusia dalam Perspektif Islam, (Jurnal Kalima: Vol. 12, No. 2, September 2014)

Majma‘ al-Lughah al-‘Arabiyyah, Al-Mu‘jam al-Wasit, Jil. II, (Kairo: Daral-Da‘wah),

Milton D Hunnex, Peta Filsafat, Teraju, (Jakarta, 2004)

Pusat Bahasa Departeman Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: 2008),

Syaamil Qur’an, al-Qur’an dan Terjemahan,(Q.S al-Hirj15: 28-29: Cordova)

Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu, Liberty, (Yogyakarta, 1996),





[1] Baharuddin, Paradigma Psikologi Islam, (Yogyakarta: Pustakan Pelajar, Cet. 2, 2007),15
[2] Syaamil Qur’an, al-Qur’an dan Terjemahan,(Q.S al-Hirj {15}: 28-29: Cordova), Tipe CA.1
[3]Abu Bakr al-Razi, Mukhta>r al-S{ih}a>h}, (Beirut: al-Maktabah al-‘As}riyyah, 1999),301.
[4] Majma‘ al-Lughah al-‘Arabiyyah, Al-Mu‘jam al-Wasit, Jil. II, (Kairo: Dar> al-Da‘wah), 616.
[5] Pusat Bahasa Departeman Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: 2008), 25.
[6] H.M. Rasjidi dan Harifuddin Cawidu, Islam untuk Disiplin Ilmu Filsafat, (Jakarta: CV. Kuning Mas, 1984),6
[7] Ibnu Taimiyyah, Majmu‘Fatawa, Jil. IV, Abdurrahman ibn Muhammad ibn Qasim (Ed.), (Madinah: Majma‘ Malik Fahd, 1995), 537.
[8] Lalu Hari Afrizal, Psikonalisa Islam, Menggali Struktur Pisikis Manusia dalam Perspektif Islam, (Jurnal Kalimah: Vol. 12, No. 2, September 2014), hal.255
[9] Ibid,hal. 256
[10] Ibid,hal. 256
[11] Ibid. hal. 256
[12] Al Kaysi, Marwan Ibrahim, 1998. Ad Daafi‟iyatu al Nafsiyatu fi al‟Aqidatu al Islamiyahal Majalah Jami‟atu al Maliku Sa‟udi (10), (Al „Ulum al Tarbiyatu wa Darasatu al Islamiyah, 1, pp). hal. 91.
[13] Al Ghazali. Iman Abu Muhammad bin Muhammad, 2007. Ihya „Ulumuddin. Penerjemah: Ahmad Rofi‟ Usmani,(Bandung: Penerbit Pustaka). Hal. 257
[14] Darmawan. Cecep, 2006. Kiat Sukses Manajemen Rasulullah: Manajemen Sumber Daya Insani Berbasis Nilai-Nilai Ilahiyahal (Bandung: Penerbit Khazanah Intelektual). Hal. 57
[15]  Syaamil Qur’an, al-Qur’an dan Terjemahan,… al-Baqarah : 179-193
[16]  Ika Yunia Fauzia, dkk, Prinsip Dasar Ekonomi Islam, (Sidoarjo: Kencana, 2014) , hal. 68.
[17] A.Karim, Adiwarman, Sejarah Pemikiran Ekonomi edisi kedua,(Jakarta: Grafindo Persada, 2004), hal.67
[18] Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu, Liberty, (Yogyakarta, 1996), hal 11
[19] Milton D Hunnex, Peta Filsafat, Teraju, (Jakarta, 2004), hal 18
[20] Drs.H.Fathul Mufid M.Si, Buku Daros ( Filsafat Ilmu Islam ), STAIN Kudus, 2008, hal.111

Tidak ada komentar:

Posting Komentar