Makalah
KOMPONEN-KOMPONEN PSIKOLOGI DALAM PERSPEKTIF ISLAM
Diajukan
untuk memenuhi salah satu tugas dan diseminarkan pada Mata Kuliah Psikologi Islam
Disusun
Oleh :
DTM
AYUB AZHARI
3003183056
SEM/PRODI
: III – S2 / PENDIDIKAN ISLAM (PEDI-A)
PASCASARJANA
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI
SUMATERA
UTARA
MEDAN
2019
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Komponen-komponen psikologi bermakna
konsep-konsep dasar yang merupakan asumsi dasar bagi pembentukan teori
psikologi islam. Asumsi-asumsi dasar tersebut di formulasi dari pemahaman yang
mendalam terhadap konsep-konsep Al-Quran tentang manusia. sedikitnya ada empat
elemen dasar yang dijadikan sebagai pembentukan teori psikologi islam, yakni
teori tentang psikis jiwa manusia, teori tentang struktur motivasi, teori
tentang struktur pemenuhan kebutuhan manuisa jiwa manusia dan teori tentang
struktur kebenaran yang digunakan dalam psikologi islam.
Psikologi islam adalah pandangan
islam terhadap ilmu psikologi modern dengan berbagai aspek. Psikologi islam
merupakan usaha untuk membangun sebuah teori dari khazanah kepustakaan Islam,
baik dari Al-Quran ataupun Hadist.
Maka
pada pembahasan dimakalah ini,membahas tentang komponen-komponen psikologi
dalam perspektif islam yang didasari dari empat elemen yakni, teori tentang psikis jiwa manusia, teori tentang struktur motivasi,
teori tentang struktur pemenuhan kebutuhan manuisa jiwa manusia dan teori
tentang struktur kebenaran.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Struktur
Pisikis Manusia Menurut Islam
Adapun dalam Islam, karakter dasar
penciptaan manusia bukan hanya pada aspek naluriah semata. Di samping itu ia
memiliki potensi-potensi positif yang diberikan oleh Allah kepada dirinya guna
menyempurnakan kekurangannya, seperti akal dengan daya rasa dan daya pikirnya,
fitrah bertuhan, rasa etik, rasa malu, ilham, firasat, kemudian diberikan
petunjuk al-Qur’an dan petunjuk Nabi SAW sebagai penyempurnanya. Selain itu, ia
juga adalah makhluk yang memiliki ira’dah (kehendak-kehendak yang
mulia), bebas menentukan tingkah lakunya berdasarkan pikiran dan perasaannya.
Dengan kelengkapan-kelengkapan yang diberikan Allah ini, ia bisa menjadi
makhluk yang sempurna, tidak hanya dikuasai oleh aspek biologisnya. Dengan
segala potensi dan kelebihan ini ia pun menjadi makhluk yang memiliki tanggung
jawab melestarikan alam, menyejahterakan manusia dan tanggung jawab kepada
Tuhan atas segala tingkah lakunya serta kewajiban mencari rida-Nya.[1]
Manusia memiliki dimensi ganda,
yaitu jiwa dan raga, atau rohani dan jasmani. Allah SWT menerangkan hal ini
dalam firman-Nya:
وَإِذۡ
قَالَ رَبُّكَ لِلۡمَلَٰٓئِكَةِ إِنِّي خَٰلِقُۢ بَشَرٗا مِّن صَلۡصَٰلٖ مِّنۡ
حَمَإٖ مَّسۡنُونٖ فَإِذَا سَوَّيۡتُهُۥ وَنَفَخۡتُ فِيهِ مِن رُّوحِي فَقَعُواْ
لَهُۥ سَٰجِدِينَ
Artinya
: “Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:
"Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering
(yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk, Maka apabila Aku telah
menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku,
maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud” (Q.S al-Hijr: 28-29).[2]
Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah
menciptakan fisik atau jasmani manusia dari tanah, kemudian meniupkan roh
ciptaan-Nya ke dalam tubuhnya. Subtansi roh (Nafs Tamyiz) bahwa Kata “tamyiz” dalam bahasa Arab
berarti memisahkan dan membedakan antara sesuatu dengan yang lain.[3]
Dari makna bahasa ini dapat dipahami bahwa nafs tamyiz berarti, nafs atau
roh yang mampu mengidentifikasi atau membedakan antara suatu objek dan objek
lainnya melalui potensi-potensi yang merupakan substansi dirinya. Seperti
potensi indra untuk membedakan satu entitas dengan entitas lain, dan potensi
akal untuk membedakan baik dan buruk, benar-salah, dan lain sebagainya. Lebih
lanjut tentang potensi-potensi diri (nafs tamyiz) ini adalah sebagai
berikut:
1.
Akal
Secara etimologi, kata akal berasal dari bahasa Arab: ‘aqala,
ya‘qilu, ‘aqlan yang berarti mengikat atau menahan dan membedakan.[4]
Sementara di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata akal
dimaknai dengan daya pikir, pikiran, dan ingatan.[5] Pemaknaan
bahasa Arab yang menggunakan kata kerja di atas (mengikat atau menahan dan
membedakan) identik dengan kemampuan atau kekuatan mengikat dan membedakan,
yang dalam KBBI disebut sebagai daya pikir, bukan pikiran dalam arti obyek yang
dipikirkan (mutafakkar fihi) atau buah pikiran (fikrah). Dari
pengertian etimilogis ini dapat dipahami bahwa akal merupakan daya yang
terdapat dalam diri manusia yang dapat menahan atau mengikat (mengendalikan)
pemiliknya dari perbuatan buruk dan jahat, serta untuk membedakan antara yang
baik dan buruk. Jika akal bukan pikiran itu sendiri, tetapi kekuatan atau daya
berpikir, maka akal lebih tepat jika diistilahkan sebagai substansi yang bisa
berpikir.[6]
Ketika melakukan proses berpikir manusia memiliki cara atau
mekanisme berpikir, yaitu cara kerja akal itu sendiri, berupa fungsi-fungsi
kognitif seperti: mengenal, mengetahui, mengingat, menyadari, berimajinasi,
bernalar, berintuisi, dan sebagainya. Sementara buah pikiran adalah hasil yang
ditimbulkan dari proses berpikir.[7]
Dengan demikian, kata “akal” memiliki medan makna yang lebih luas.
Daya pikir hanyalah satu unsur kelengkapan akal. Kelengkapan lainnya ialah daya
rasa. Akal yang lengkap adalah jalinan antara daya pikir dan daya rasa.
Dalam menimbang baik dan buruk, benar dan salah, manusia tidak hanya berpikir,
tetapi juga merasa.
2.
Indra
Substansi roh lainnya selain akal misalnya adalah indra melihat,
mendengar, mengecap, meraba, mencium, dan merasa. Semua itu adalah bagian dari
substansi roh. Bukan substansi nafs hayah. Hal ini dapat kita perhatikan
ketika seseorang sedang tertidur. Fisiknya tetap hidup, masih bernafas, bahkan
masih bisa bergerak walaupun tidak leluasa, tetapi potensi indranya telah
hilang. Ia tidak lagi bisa melihat, mendengar, atau berpikir. Nafs tamyiz orang
yang tidur telah dicabut, tetapi nafs hayah-nya masih tetap ada. Ini
pula yang dialami oleh bayi yang belum berumur empat bulan, hanya baru memiliki
substansi nafs hayah, karena roh belum ditiupkan kepadanya. Fisiknya
hidup, tetapi belum mempunyai roh, layaknya orang tidur. Nabi SAW mengajarkan
kita berdoa setelah bangun tidur: “Segala puji bagi Allah yang telah
mengembalikan rohku kepadaku, menyehatkan jasadku dan mengizinkan aku berdzikir
kepada-Nya” (HR. Nasai). Hadis ini menunjukkan bahwa ketika tidur, roh manusia
meninggalkan jasadnya, tetapi ia masih tetap memiliki hayah (kehidupan).[8]
3.
Tenaga
Tenaga di sini adalah daya yang menjadikan manusia mampu bergerak.
Potensi ini adalah bagian dari substansi roh, seperti halnya indra. Manusia
bisa saja kehilangan tenaganya seperti pada orang yang lumpuh. Sama halnya
dengan seorang yang kehilangan indra penglihatan, pendengaran, penciuman, atau
peraba.[9]
4.
Naluri/Insting
Naluri (gharizah) juga bagian dari substansi roh, yang juga
dimiliki oleh manusia dan hewan, namun tidak dimiliki oleh tumbuhan. Pada
naluri/insting inilah letak syahwat kemaluan dan syahwat perut manusia, karena
ia tidak berada di daya pikir ataupun daya rasa. Makan, minum, dan hubungan
badan adalah kebutuhan-kebutuhan yang tidak akan terlepas dari manusia dan
hewan, keduanya sama-sama memiliki syahwat tersebut. Oleh karena itu, seorang
yang daya rasa, daya pikir, dan indranya tidak digunakan untuk mendengarkan dan
memikirkan ayat-ayat Allah, tetapi hanya mementingkan naluri syahwatnya, ia
dinilai sama derajatnya dengan binatang, bahkan lebih buruk, karena binatang
tidak punya akal untuk menilai baik-buruk.[10]
5.
Fitrah
Substansi roh lainnya adalah fitrah. Fitrah perupakan ‘program’
bawaan roh manusia yang menjadikannya selalu merasa bahwa ia adalah makhluk
yang diciptakan oleh Tuhan Yang Mahakuasa. Allah menyematkannya di dalam roh
sebelum ditiupkan ke dalam rahim ibunya. Allah berfirman: “Dan (ingatlah),
ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan
Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): ‘Bukankah
aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab: “Benar (Engkau Tuhan kami), Kami menjadi
saksi” (QS. al-A`raf: 172). Persaksian ini bukanlah sesuatu yang diingat oleh
akal, tetapi sesuatu yang dirasakan oleh jiwa. Oleh karena itu, bagaimanapun
ateis-nya seorang manusia, ketika ia dalam kondisi darurat yang mengancam
jiwanya maka dimensi roh ini akan tampil pada dirinya. Al-Qur’an mengibaratkan
dengan seorang yang terombang-ambing oleh badai di tengah samudra (QS. Yunus:
22). Atau seperti seorang yang naik pesawat, lalu pesawatnya mengalami gangguan
teknis dan hendak jatuh. Saat-saat genting seperti itu pasti akan memunculkan
dimensi roh ini, sehingga ia akan berteriak: “Ya Tuhanku, selamatkanlah aku”.[11]
B.
Struktur
Motivasi Menurut Islam
Dalam khazanah ilmu pengetahuan Islam, ada
definisi yang dikemukakan oleh pakar ilmu jiwa, bahwa motivasi adalah dorongan
atau keinginan psikologis atau kejiwaan yang ada pada diri seseorang, keinginan
ini mempengaruhi perilaku pada keadaan khusus untuk memenuhi apa yang
dihajatkannya, keinginan ini berupa desakan-desakan atau dorongan-dorongan atau
kecondongan hati untuk melakukan sesuatu.[12]
Gejala sosial dan individu yang
dicermati dalam sebuah sistem sosial atau organisasi melahirkan sebuah studi
tentang perilaku organisasi. Bila dilihat dari perspektif ini, peran lingkungan
dalam mengkondusifkan organisasi menjadi penting untuk dirumuskan sebagai
sebuah mekanisme organisasi yang sistematis. Dalam pemahaman seperti inilah
Imam Al Ghazali memandang bagaimana motivasi seseorang muncul sehingga mampu meningkatkan
prestasi kerjanya. Perspektif Al Ghazali dalam motivasi didasarkan pada bukunya
Ihya Ulumuddin, khususnya dalam rubu (bagian) khauf wa raja’ (takut
dan harap). Menurut Al Ghazali, konsep motivasi adalah perasaan takut dan harap
sebagai sarana pendakian untuk mendekatkan diri kepada Allah menuju setiap
peringkat yang terpuji.[13]
Harap dan takut ini bagi Al Ghazali
memiliki dua manfaat yaitu (1) sebagai daya dorong untuk melakukan perjalanan
dan perkembangan mental spiritual sehingga memiliki prestasi yang terpuji, (2)
menjadi kontrol atau pisau kritis terhadap perjalanan spiritual atau mental.
Implikasinya, yang mendorong kita untuk maju adalah adanya rasa harap dan yang
menahan kita untuk melakukan perbuatan yang tidak produktif adalah rasa takut.
Di sinilah tampak urgensi peran khauf dan raja‟ sebagai motif dasar
menusia dalam menggerakkan perilaku manusia di muka bumi[14]
Sumber:
Al-Kaysi, 1998: 106
Menurut
Al Kaysi-seorang Associates Professor dari Universitas Yarmouk, Yordania,
perasaan takut dan harap kepada Allah itu termasuk motivasi dari dalam diri
manusia. Pandangan Al Kaysi sendiri terhadap motivasi dalam Islam adalah
sebagaimana dalam Gambar di atas.
Maka
dapat disimpulkan bahwa motivasi manusia terbagi kedalam dua bagian. Dorongan
dari luar diri manusia, berupa adanya surga di akhirat, adanya taufik di dunia,
perasaan ingin selamat dari api neraka dan musibah. Dorongan ini dicapai dengan
melaksanakan banyak kebaikan dan mengurangi keburukan/kejahatan. Sedangkan
motivasi dari dalam diri manusia dapat berupa cinta kepada Allah, takut kepada
Allah, mengharap kepadaNya, dan malu kepada-Nya.
C.
Struktur
Pemenuhan Kebutuhan Manusia Menurut Islam
Menurut Islam, yaitu senantiasa mengaitkannya dengan tujuan utama
manusia diciptakan yaitu ibadah. Untuk memenuhi kebutuhan ini, maka Allah
menghiasi manusia dengan hawa nafsu (syahwat), dengan adanya hawa nafsu
ini maka muncullah keinginan dalam diri manusia.
1.
Dharuriyat
(Primer)
Menurut
al-Syathibi, Dharuriyat (primer) adalah kebutuhan paling utama dan
paling penting. Kebutuhan ini harus terpenuhi agar manusia dapat hidup layak.
Jika kebutuhan ini tidak terpenuhi hidup manusia akan terancam didunia maupun
akhirat. Kebutuhan ini meliputi, khifdu din (menjaga agama), khifdu
nafs (menjaga kehidupan), khifdu ‘aql (menjaga akal), khifdu nasl
(menjaga keturunan), dan khifdu mal (menjaga harta). Untuk menjaga
kelima unsur tersebut maka syari‟at Islam diturunkan. Sesuai dengan firman
Allah SWT, dalam QS. Al-Baqarah:179 dan 193.
وَلَكُمۡ فِي
ٱلۡقِصَاصِ حَيَوٰةٞ يَٰٓأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِ لَعَلَّكُمۡ تَتَّقُونَ
Artinya :”Dan dalam qishaash itu ada
(jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu
bertakwa” (Q.S al-Baqarah: 179).
وَقَٰتِلُوهُمۡ
حَتَّىٰ لَا تَكُونَ فِتۡنَةٞ وَيَكُونَ ٱلدِّينُ لِلَّهِۖ فَإِنِ ٱنتَهَوۡاْ
فَلَا عُدۡوَٰنَ إِلَّا عَلَى ٱلظَّٰلِمِينَ
Artinya:”Dan perangilah mereka itu,
sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata
untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), maka tidak ada
permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zali”. (Q.S al-Baqarah:
193).[15]
Maka
dapat disimpulkan dari penjelasan di atas bawah tujuan yang bersifat dharuri
adalah tujuan utama untuk pencapaiaan kehidupan yang abadi bagi manusia Lima
kebutuhan dharuriyah tersebut harus dapat terpenuhi, apabila salah satu
kebutuhan tersebut diabaikan akan terjadi ketimpangan atau mengancam
keselamatan umat manusia baik didunia maupun diakhirat kelak. Manusia akan
hidup bahagia apabila ke lima unsur tersebut dapat dilaksanakan dengan baik.
2.
Hajiyat
(Skunder)
Kebutuhan ini
maksudnya untuk memudahkan, menghilangkan kesulitan atau menjadikan
pemeliharaan yang lebih baik terhadap lima unsur pokok kehidupan manusia. Pada
dasarnya jenjang hajiyah ini merupakan pelengkap yang mengokohkan, menguatkan,
dan melindungi jenjang dharuriyyah. Atau lebih spesifiknya lagi bertujuan untuk
memudahkan atau menghilangkan kesulitan manusia di dunia.[16]
3.
Tahsiniyat
(Tersier)
Kebutuhan tahsiniyah adalah kebutuhan yang tidak mengancam kelima hal pokok
yaitu khifdu din (menjaga agama), khifdu nafs (menjaga kehidupan), khifdu „aql
(menjaga akal), khifdu nasl (menjaga keturunan), serta khifdu maal (menjaga
harta) serta tidak menimbulkan kesulitan umat manusia. Kebutuhan ini muncul
setelah kebutuhan dharuriyah dan kebutuhan hajiyat terpenuhi, kebutuhan ini
merupakan kebutuhan pelengkap.[17]
D. Struktur
Kebenaran Menurut Islam
1.
Hakekat Kebenaran
Kata " kebenaran dapat digunakan sebagai suatau kata
yang konkret maupun abstrk. Jika subjek hendak mengatakan kebenaran artinya
adalah beposisi yang benar. Namun apabila menyatakan kebenran bahwa proposisi
yang diuji itu pasti memiliki kualitas, sifat atau karakteristik, hubungan dan
nilai. Hal yang demikian itu karena kebenaran tidak dapat begitu saja terlepas
dari kualitas, sifat dan hubungan nilai itu sendiri.[18]
2.
Sifat-sifat kebenaran
a. Deskriptif
Sifat ini terdapat dalam pernyataan proposisi atau keyakinan yang mana (a)
bersifat mesti, yakni secara analisis ia benar. Misalkan jika pmenyiratkan q,
dan p adalah kasus, maka q juga kasus. Atau (b) bersifat kemungkinan, yakni
secara empiris ia benar. Misalkan “ bumi itu bulat “ kebenaran berfungsi
sebagai kata sifat, seperti mkeyakinan yang benar.
b. Instrumental
Sifat ini terdapat dalam suatu keyakinan yang menjadi pembimbing bagi
pemikiran dan tindakan untuk meraih kesuksesan. Misal : Bertindak dengan
keyuakinan bahwa sifat api itu membakar dan dapat mencegah seseorang dari
kebakaran. Kebakaran di sini berfungsi sebagai kata keterangan , yakni
seseorang mempunyai keyakinan dengan benar bahwasanya dia dapat mencegah
kebakaran.
c. Substansif
Sifat ini didasarkan pada kenyataan misalkan “ Tuhan adalah kebenaran” jadi
kebenaran di sini berfungsi sebagai kata benda.
d. Eksistensial
Sifat ini didasarkan pada salah satu jalan hidup atau komitmen puncak
seseorang misalkan “Hidup lebih baik dari pada sekedar mengetahui kebenaran”
kebenaran berfungsi sebagai kata kerja.[19]
3.
Kebenaran menurut Islam
Menurut konsep islam bahwa keadilan tidak sama dengan
sikap netral, sebab keadilan itu adalah berpihak pada kebenaran. Sedang
masalahnya adalah bagaimana seseorang itu dapat berpihak pada kebenaran jika
kebenaran itu masih diragukan.
Dalam islam kebenaran substabsial dan esensial
ayat-ayat al Quran bersifat deterministik, namun kebenaran tafsiran dan
pemakaian bersifat indetermantik yaitu dapat dikembangkan secara luas dan
terus-menerus. Bagi manusia disediakan kawasan indhetermunistik yaitu kawasan
untuk menjangkau kebenaran empiric sensual, kebenaran empiric logis, kebanaran
empiric etik, kebenaran empiric mu'amalah terhadap manusia. Dalam Islam
kebenaran hanya satu, bila dikaitkan dengan kebenaran disisi Allah. Akan tetapi
bila dikaitkan dengan interprestasi yang dilakukan manusia dalam mencari
kebenaran tersebut, maka akhirnya akan melahirkan perbedaan dan pertentangan.
Misalkan 2 = 2 = 4, 2 +2 = 6 Teori ini mudah diterima, tetapi bila persoalannya
manyangkut interprestasi atas ajaran agama, maka persoalannya menjadi berbeda
sama sekali. Al Qur'an menguraikan berbagai persoalan hidup dan kehidupan,
antara lain menyangkut alam raya dan fenomenanya. Uraian sekitar persoalan
tersebut sering disebut aat kauniyah. Tidak kurang dari 450 ayat yang
menguraikan hal tersebut.[20]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dapat disimpulkan dari penjelasan
di atas tentang masuk dan berkembangnya ide-ide pembaruan pemikiran islam di
indonesia pada awal abad ke xx.
Diantaraya sebagai berkut :
1. Struktur fsikis di dalam diri manusia terdiri dari akal dengan daya
rasa dan daya pikirnya, fitrah bertuhan, rasa etik, rasa malu, ilham, firasat,
kemudian diberikan petunjuk al-Qur’an dan petunjuk Nabi SAW sebagai
penyempurnanya.
2. Motivasi
adalah dorongan atau keinginan psikologis atau kejiwaan yang ada pada diri
seseorang, keinginan ini mempengaruhi perilaku pada keadaan khusus untuk
memenuhi apa yang dihajatkannya, keinginan ini berupa desakan-desakan atau
dorongan-dorongan atau kecondongan hati untuk melakukan sesuatu.
3. Manusia diciptakan ke dunia untuk memenuhi kebutuhan, kebutuhan
tersebut ialah senantiasa mengaitkannya dengan tujuan utama manusia diciptakan
yaitu ibadah.
4. kebenaran
dapat digunakan sebagai suatau kata yang konkret maupun abstrk. Jika subjek
hendak mengatakan kebenaran artinya adalah beposisi yang benar. Namun apabila
menyatakan kebenran bahwa proposisi yang diuji itu pasti memiliki kualitas,
sifat atau karakteristik, hubungan dan nilai.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Bakr al-Razi, Mukhtar al-Sihah, (Beirut: al-Maktabah al-‘Asriyyah,
1999)
Al Ghazali. Iman Abu Muhammad bin
Muhammad, 2007. Ihya „Ulumuddin. Penerjemah: Ahmad Rofi‟ Usmani
Al Kaysi, Marwan Ibrahim, 1998. Ad
Daafi‟iyatu al Nafsiyatu fi al‟Aqidatu al Islamiyahal Majalah Jami‟atu al
Maliku Sa‟udi (10), (Al „Ulum al Tarbiyatu wa Darasatu al Islamiyah, 1, pp)
Baharuddin, Paradigma Psikologi Islam, (Yogyakarta: Pustakan
Pelajar, Cet. 2, 2007),
Darmawan. Cecep, 2006. Kiat Sukses
Manajemen Rasulullah: Manajemen Sumber Daya Insani Berbasis Nilai-Nilai
Ilahiyahal (Bandung: Penerbit Khazanah Intelektual).
Drs.H.Fathul Mufid M.Si, Buku Daros ( Filsafat Ilmu Islam ), STAIN
Kudus, 2008
H.M. Rasjidi dan Harifuddin Cawidu,
Islam untuk Disiplin Ilmu Filsafat, (Jakarta: CV. Kuning Mas, 1984),
Ibnu Taimiyyah, Majmu‘Fataw’a, Jil.
IV, Abdurrahman ibn Muhammad ibn Qasim (Ed.), (Madinah: Majma‘ Malik Fahd,
1995)
Ika Yunia Fauzia, dkk, Prinsip Dasar Ekonomi Islam, (Sidoarjo:
Kencana, 2014)
Karim, Adiwarman, Sejarah Pemikiran Ekonomi edisi kedua,(Jakarta:
Grafindo Persada, 2004)
Lalu Hari Afrizal, Psikonalisa
Islam, Menggali Struktur Pisikis Manusia dalam Perspektif Islam, (Jurnal Kalima:
Vol. 12, No. 2, September 2014)
Majma‘ al-Lughah al-‘Arabiyyah, Al-Mu‘jam al-Wasit, Jil. II,
(Kairo: Daral-Da‘wah),
Milton D Hunnex, Peta Filsafat, Teraju, (Jakarta, 2004)
Pusat Bahasa Departeman Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa
Indonesia, (Jakarta: 2008),
Syaamil Qur’an, al-Qur’an dan Terjemahan,(Q.S al-Hirj15: 28-29:
Cordova)
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu,
Liberty, (Yogyakarta, 1996),
[1] Baharuddin, Paradigma Psikologi Islam, (Yogyakarta:
Pustakan Pelajar, Cet. 2, 2007),15
[2]
Syaamil Qur’an, al-Qur’an dan Terjemahan,(Q.S al-Hirj {15}: 28-29:
Cordova), Tipe CA.1
[6] H.M. Rasjidi dan Harifuddin Cawidu, Islam untuk Disiplin Ilmu
Filsafat, (Jakarta: CV. Kuning Mas, 1984),6
[7] Ibnu Taimiyyah, Majmu‘Fataw’a, Jil. IV, Abdurrahman
ibn Muhammad ibn Qasim (Ed.), (Madinah: Majma‘ Malik Fahd, 1995), 537.
[8]
Lalu Hari Afrizal, Psikonalisa Islam, Menggali Struktur Pisikis Manusia
dalam Perspektif Islam, (Jurnal Kalimah: Vol.
12, No. 2, September 2014), hal.255
[10] Ibid,hal.
256
[11] Ibid.
hal. 256
[12] Al
Kaysi, Marwan Ibrahim, 1998. Ad Daafi‟iyatu al Nafsiyatu fi al‟Aqidatu al
Islamiyahal Majalah Jami‟atu al Maliku Sa‟udi (10), (Al „Ulum al Tarbiyatu wa
Darasatu al Islamiyah, 1, pp). hal. 91.
[13] Al
Ghazali. Iman Abu Muhammad bin Muhammad, 2007. Ihya „Ulumuddin. Penerjemah:
Ahmad Rofi‟ Usmani,(Bandung: Penerbit Pustaka). Hal. 257
[14] Darmawan.
Cecep, 2006. Kiat Sukses Manajemen Rasulullah: Manajemen Sumber Daya Insani
Berbasis Nilai-Nilai Ilahiyahal (Bandung: Penerbit Khazanah Intelektual). Hal.
57
[17]
A.Karim, Adiwarman, Sejarah Pemikiran Ekonomi edisi kedua,(Jakarta: Grafindo
Persada, 2004), hal.67
[18] Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu,
Liberty, (Yogyakarta, 1996), hal 11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar